Senin, 30 Desember 2013

REVITALISASI HUTAN ADAT



REVITALISASI HUTAN ADAT
Pengakuan Kepemilikan Hutan Adat
Bagi masyarakat hukum adat, pengakuan pemerintah terhadap kepemilikan tanah, termasuk hutan, merupakan substansi hakiki untuk mempertahankan sistem hukum yang mereka jalankan.  Sumber daya alam menjadi sumber inspirasi peningkatan kapasitas mereka dalam pembangunan sosial dan ekonomi dengan tetap memperhatikan kearifan ekologis yang telah berkembang di tengah-tengah kehidupan mereka.  Distorsi hukum adat yang terjadi sepanjang sejarah rezim pemerintahan di Indonesia harus ditata ulang dengan pendekatan rekognisi hak masyarakat hukum adat dalam pengelolaan sumber daya hutan.
Pemerintah, selaku pemegang mandat pengurusan hutan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, harus menanggalkan sikap skeptis terhadap kemampuan masyarakat hukum adat dalam pengelolaan sumber daya hutan karena masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang berpikir komprehensif dan holistik untuk generasinya saat ini dan generasinya masa mendatang dalam kerangka hukum dan kelembagaan adat yang implementatif.  Fokus pemerintah adalah menjamin bahwa hak ulayat dengan seperangkat hukum yang mengaturnya didapatkan secara adil oleh masyarakat hukum adat.
Hak ulayat ini berbeda dengan hak milik orang per orang yang diperoleh karena membuka tanah atau hutan.  Hak milik atas tanah dapat pula diperoleh dari hak pakai atas tanah kesatuan sosial (masyarakat [hukum] adat) apabila hak itu menjadi tetap dan turun temurun. Hak milik mutlak tidak dikenal dalam hukum adat (Van Vollenhoven 1972 dalam Suharjito 2013:429).  Demikian pula menurut Ter Haar (1960) dalam Suharjito (2013:429), hak untuk beschikken (menguasai mutlak) dalam arti kata memindahtangankan tidak ditemukan dalam masyarakat suku bangsa di Indonesia. Kaidah “daerah pertuanan” (beschikkingsgebeid) tidak dapat dipindahtangankan tetap pertama-tama berlaku, walaupun ada beberapa [pengecualian], misalnya karena peperangan [dan] tekanan pemerintah pusat.  Ketentuan bahwa tidak ada hak milik mutlak ini dalam UUPA [Tahun] 1960 disebut sebagai fungsi sosial dari tanah.
Kebijakan Revitalisasi
Kita harus jujur mengakui bahwa komitmen pemerintah dalam mendorong Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) pada kawasan hutan negara masih lemah.  Pengembangan PHBM masih kalah dengan pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI).  Contohnya,  sampai tahun 2011, perizinan HTR dan HKm baru mencapai sekitar 165 ribu ha dan 44 ribu ha, masing-masingnya. Sementara luas areal HTI meningkat tajam dari hanya sekitar 30 ribu ha pada tahun 1990 menjadi lebih dari 10 juta ha pada tahun 2011 (Kemenhut 2012).
 Sebagai salah satu skema dalam PHBM, hutan adat perlu dipandang dalam 3 aspek penting yaitu sosial, ekonomi, dan ekologi sebagaimana perspektif pembangunan berkelanjutan yang mampu menjembatani dinamika permasalahan secara komprehensif dan holistik.  Untuk mencapai hal tersebut, kebijakan yang dapat diambil pemerintah adalah sebagai berikut :
1.  Kebijakan sosial politik, secara khusus melalui revisi terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan untuk mengakomodir kepentingan hakiki dari masyarakat hukum adat dan secara umum mendorong pembuatan undang-undang yang mengatur tentang masyarakat hukum adat itu sendiri dalam arti luas.  Komitmen politik (political will) dari pemerintah harus diwujudkan melalui penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang mampu memaknai masyarakat hukum adat sebagai bagian sistem hukum nasional yang saling melengkapi.  Kita masih memiliki modal sosial yang kuat berupa sistem kekerabatan yang masih kental (seperti pada masyarakat Minangkabau) dan sistem kelembagaan yang mengutamakan musyawarah mufakat.
2.  Kebijakan ekonomi rakyat, dengan menjadikan masyarakat hukum adat sebagai penggerak utama perekonomian wilayah dan memperluas akses mereka terhadap lembaga-lembaga keuangan yang ada dengan layanan berbasis sistem hukum yang mereka anut.  Badan Layanan Umum (BLU) Kementerian Kehutanan sebagai salah satu lembaga keuangan dalam pembangunan kehutanan dapat menjadi lokomotif fasilitasi permodalan berbasis sistem hukum adat.  Akan menjadi lebih monumental, apabila pemerintah menginisiasi pembentukan Bank Adat dan/atau mendelegasikan tugas layanan berbasis sistem hukum adat ini pada salah satu bank nasional. 
3. Kebijakan ekologi optimum, melalui optimalisasi implementasi Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), dan Hutan Desa (HD) dalam kerangka sistem hukum adat setempat dan menjamin tata kelola adat pada lahan-lahan di luar kawasan hutan.  Yang paling penting dalam kebijakan ini adalah memberikan kewenangan masyarakat hukum adat dalam menentukan tata ruang mikro berbasis ekologis untuk mencapai kemandirian pangan, kelestarian sumber daya,  dan peningkatan kapasitas.  Untuk mencapai tujuan tersebut, pada wilayah-wilayah yang pondasi sosial ekonominya didukung oleh masyarakat hukum adat (contohnya Sumatera Barat), perlu dibentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan Adat (KPHA) sebagai unit manajemen berbasis sistem hukum adat.

1 komentar:

  1. The Star Grand at The Star Gold Coast | JT Hub
    With over 600 rooms, great restaurants, exciting nightlife, and a world-class day spa, The Star 포항 출장안마 Grand 안성 출장마사지 at 고양 출장마사지 The Star Gold Coast 정읍 출장샵 is 통영 출장안마 the premier gaming and entertainment

    BalasHapus