Sabtu, 06 Juli 2013

PERSPEKTIF SUMATERA BARAT DALAM IMPLEMENTASI PHBM



PERSPEKTIF SUMATERA BARAT DALAM IMPLEMENTASI PHBM

Oleh :
Ferdinal Asmin


Gubernur Sumatera Barat, Irwan Prayitno, pada Lokakarya Penyiapan Skema Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Sebagai Penerima Manfaat Utama Pendanaan Karbon dan Mendukung Target Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca yang dilaksanakan di Hotel Mercure Padang pada tanggal 29 – 31 Mei 2012, telah meluncurkan target perluasan skema PHBM di Sumatera Barat sebesar minimal 250.000 hektar.  Dari target tersebut, telah dirinci oleh Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Barat untuk memperluas skema PHBM itu pada masing-masing Kabupaten/Kota se-Sumatera Barat dengan total arahan indikatif seluas 500.000 hektar.
Melihat jumlah target dan total arahan indikatif perluasan skema PHBM di Sumatera Barat, ternyata ada yang optimis dan juga ada yang pesimis hal tersebut bisa dicapai.  Yang optimis pasti memberikan apresiasi terhadap apa yang telah dicanangkan Sumatera Barat.  Tapi yang pesimis tentunya pasti meragukan kemampuan Sumatera Barat untuk mencapai hal tersebut.  Namun optimisme dan pesimisme tersebut tentunya didasari pada suatu keinginan untuk kemajuan pengelolaan hutan Sumatera Barat yang lebih baik kedepannya.
Konsepsi PHBM
Istilah PHBM memang masih banyak membingungkan dan diinterpretasikan secara beragam, bahkan di kalangan rimbawan sendiri.  Hal ini sedikit banyaknya dapat tergambarkan pada kurangnya pemahaman rimbawan dalam menangkap esensi dari PHBM itu sendiri.  Pertanyaan-pertanyaan mendasarpun selalu mengemuka seperti bisakah masyarakat mengelola hutan sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan yang ada ?  Bukankah dengan PHBM ini akan semakin memicu meningkatnya tekanan masyarakat terhadap kawasan hutan yang ada ? Dan sejumlah pertanyaan lainnya.
Penggunaan singkatan PHBM juga dengan bermacam kepanjangan.  Ada yang menggunakan istilah Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, dan/atau ada juga yang menggunakan istilah Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat.  Sumatera Barat lebih suka menggunakan istilah yang terakhir atau yang lebih dikenal dengan Community Based Forest Management (CBFM) dengan argumentasi bahwa secara historis, masyarakat Sumatera Barat banyak mengembangkan best practices pengelolaan hutan dan lahan dengan kearifan lokal yang dimilikinya, dan hal tersebut ternyata menjadi sebuah keunggulan.
Menurut Wiersum (2004), ada dua fokus utama CBFM yaitu (1) pengelolaan hutan oleh masyarakat dalam bentuk pengelolaan sumber daya hutan pada berbagai jenis lahan dalam wilayah teritorial masyarakat dan (2) pengelolaan bersama dalam bentuk kolaborasi berbagai kelompok masyarakat dalam pengelolaan lahan hutan negara berdasarkan pendelegasian tanggung jawab oleh pemerintah. 
Merujuk pada fokus utama tersebut, maka CBFM di Sumatera Barat dilakukan dengan pendekatan strategi kehutanan sosial (social forestry) dimana strategi ini diharapkan merupakan payung bagi semua jenis aktifitas pengelolaan sumber daya alam berbasis hutan dan lahan.  Dalam kerangka strategi social forestry tersebut, ada 5 tahapan yang harus dikerjakan, yaitu (1) memahami karakter wilayah baik secara sosial budaya, ekonomi dan ekologis, (2) mengidentifikasi subsistem yang mempengaruhi sistem pembangunan wilayah, (3) melakukan kajian means end values, (4) menentukan tujuan pengelolaan, dan (5) menetapkan regime pengelolaan yang akan dilakukan.
Jadi, skema CBFM sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan terkait dengan kehutanan digunakan sebagai alat/media untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan dan lahan yang lebih baik.  Yang lebih penting dari itu adalah menjamin bahwa proses sebagaimana diprasyaratkan dalam strategi social forestry tersebut secara konsisten dijalankan dalam mengembangkan berbagai praktek kelola hutan dan lahan.
Hal yang juga menjadi perhatian penting dalam pengembangan PHBM di Sumatera Barat adalah aktualisasi kapasitas rimbawan profesional dalam menstimulasi peran aktif masyarakat lokal dalam skala tertentu dan mengembangkan aneka aktifitas pengelolaan hutan sebagai alat memperbaiki kesejahteraan masyarakat.  Pengembangan cara-cara menstimulasi masyarakat lokal untuk mengintensifkan pengelolaan hutan terdiri dari menjamin akses terhadap lahan, insentif finansial, dukungan teknis, penyuluhan, penyusunan kerangka kelembagaan yang tepat, aspek legalitas, kebijakan tenure, penguatan kelembagaan kehutanan dan lain sebagainya.
Peta Jalan Implementasi PHBM
Dalam rangka pencapaian target pengembangan PHBM di Sumatera Barat, Pemerintah Propinsi Sumatera Barat melalui Dinas Kehutanan telah mengelaborasi langkah-langkah strategis pencapaian target dalam buku Rencana Kerja Pengembangan Perhutanan Sosial Tahun 2012 – 2017.  Buku ini merupakan peta jalan (roadmap) pencapaian target perluasan skema PHBM yang menjelaskan langkah-langkah yang akan dilakukan, uraian target masing-masing kabupaten/kota dan dukungan pihak yang diperlukan.
Dalam peta jalan tersebut, pengembangan social forestry menjadi instrumen penting promosi pengelolaan hutan sesuai dengan kearifan lokal yang telah berkembang di masyarakat/nagari.  Oleh karena itu, tujuan implementasi PHBM adalah untuk mewujudkan pembangunan hutan dan kehutanan yang arif dan bijaksana melalui optimalisasi peran aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan dengan basis kearifan lokal di tingkat nagari menuju hutan lestari masyarakat sejahtera.
Arahan kebijakan strategis, sasaran dan langkah-langkah dalam peta jalan tersebut sesuai dengan esensi tahapan pada strategi social forestry yang dipahami oleh Sumatera Barat.  Artinya, dalam pengembangan PHBM, Pemerintah Propinsi Sumatera Barat mengedepankan langkah-langkah memahami basis sosial ekonomi masyarakat secara komprehensif dan holistik dengan memperhatikan kondisi ekologis yang ada.  Pentingnya sebuah proses dalam mengembangkan PHBM diuraikan dalam rencana-rencana kegiatan yang memperkuat KISS (koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergisitas), mendorong FPIC dan/atau persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan, mengembangkan upaya fasilitasi intensif, mengembangkan pondasi kemitraan yang kuat, dan menjamin mekanisme kendali yang efektif melalui pemantauan dan penilaian secara berjenjang.
Peta jalan tersebut juga mendapatkan respon positif dari kabupaten/kota se-Sumatera Barat.  Beberapa kabupaten/kota telah merespon target yang dicanangkan oleh Gubernur tersebut.  Sesuai dengan peta jalan yang telah disusun, Sumatera Barat saat ini lebih menitikberatkan pada tahapan memahami karakter sosial ekonomi masyarakat dan menemukenali subsistem-subsistem yang mempengaruhi pembangunan wilayah serta mendorong upaya membangun kesepakatan di tingkat tapak melalui pemberian sosialisasi, penyuluhan, bimbingan kelembagaan, dan pemetaan partisipatif terhadap areal-areal yang telah, sedang dan akan menjadi areal kelola masyarakat.
Rasionalisasi Strategi
Untuk menjalankan peta jalan tersebut, Pemerintah Propinsi Sumatera Barat telah membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Pengembangan Perhutanan Sosial.  Pokja ini terdiri dari unsur Pemerintah Pusat (BPDAS Indragiri Rokan, BPDAS Batanghari, dan BPDAS Agam Kuantan), unsur Pemerintah Daerah (Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Barat) dan unsur Lembaga Swadaya Masyarakat (KKI-Warsi).  Ide dasar pembentukan Pokja ini adalah sebagai pusat layanan bagi Pemerintah Pusat dan Daerah (Propinsi/Kabupaten/Kota), Masyarakat, dan pihak terkait lainnya.
Pokja ini dapat langsung memberikan pelayanan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dan Masyarakat yang ingin mendapatkan informasi dan fasilitasi, membangun jejaring kerja, dan menjadi alat pengendali capaian target sesuai dengan kriteria dan standar yang telah ditetapkan.  Namun kedepan, keberadaan Pokja diharapkan dapat mendorong peningkatan kapasitas SDM pada berbagai level dalam memahami kebijakan strategis PHBM yang telah diluncurkan dan menjadi pemicu bagi tumbuh dan berkembangnya komitmen yang kuat dari para pihak untuk mendukung pengembangan PHBM.
Upaya konkrit lainnya yang telah didorong oleh Pokja adalah mentransfer roh PHBM ini sebagai kebijakan strategis yang akan dijalankan pada berbagai praktek pemanfaatan sumber daya berbasiskan hutan dan lahan.  Sebagai contoh, dalam penyusunan Strategi dan Rencana Aksi Propinsi untuk implementasi REDD+, Sumatera Barat juga mengembangkan kebijakan strategis PHBM ini sebagai basis implementasi REDD+.  Sumatera Barat menilai bahwa PHBM menjadi alternatif terbaik upaya pengurangan deforestasi dan degradasi dengan tetap memperhatikan perbaikan kesejahteraan masyarakat.  PHBM juga menjadi jawaban yang logis untuk menjembatani corporate dan masyarakat dalam satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya untuk mencapai keuntungan ekonomi dan ekologis yang dicita-citakan.
Akhirnya, semua target yang telah ditetapkan dapat dicapai secara rasional dengan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki Sumatera Barat.  Optimisme dan pesimisme adalah seperti sebuah proses yang akan bermuara pada tumbuh dan berkembangnya skema-skema PHBM.  Pasti akan ada pengalaman yang baik dan yang buruk dalam implementasinya.  Namun kita harus tetap berkomitmen, jadikan pengalaman sebagai pelajaran untuk memperbaiki proses yang telah, sedang dan akan dijalani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar