Sabtu, 06 Juli 2013

PERAN SEKTOR KEHUTANAN DALAM PENYELAMATAN ALAM DAN LINGKUNGAN



PERAN SEKTOR KEHUTANAN DALAM
PENYELAMATAN ALAM DAN LINGKUNGAN
(Tinjauan Aksi Nyata Sumatera Barat dalam Rehabilitasi Hutan dan Lahan)

Oleh :
Ferdinal Asmin *)



Alam dan lingkungan menjadi rahmat Allah SWT yang membawa kelimpahan kenikmatan bagi umat manusia dan menjadi modal dalam mendorong kemajuan sosial ekonomi.  Alam dan lingkungan menyediakan ragam kebutuhan manusia.  Alam dan lingkungan melindungi manusia menjalankan aktifitas-aktifitas sosial ekonomi yang menjadi kebanggaannya.
Namun alam dan lingkungan tak selamanya akan menjadi sahabat bagi manusia.  Ketika manusia sudah menjadi serakah, alam dan lingkungan lebih cenderung menjadi musuh bagi manusia.  Maka tidak mengherankan bagi kita bahwa saat ini banyak terjadi perdebatan tentang kondisi hubungan alam dan lingkungan dengan manusia saat ini.  Masih banyak yang menilai bahwa alam dan lingkungan masih mampu menyediakan ragam kebutuhan bagi manusia.  Namun tak kalah banyaknya yang menilai bahwa alam dan lingkungan sudah mulai bosan melihat tingkah laku manusia yang cenderung serakah dalam mengeksploitasi alam dan lingkungan.
Perdebatan terhadap kondisi kekinian alam dan lingkungan di sekitar kita menjadi isu-isu global yang menjadi perhatian seluruh negara di dunia.  Negara-negara maju menilai bahwa negara-negara berkembang telah gagal dalam mengelola alam dan lingkungan yang menyebabkan semakin berkurangnya kemampuan alam dan lingkungan dalam menyediakan ragam kebutuhan manusia.  Tapi negara-negara berkembang dan tak berkembang memiliki penilaian yang bertentangan, dimana mereka menilai bahwa negara-negara maju merupakan negara yang serakah terhadap alam dan lingkungannya bahkan mereka pun menjarah sumber daya alam dan lingkungan pada negara-negara berkembang dan tak berkembang.
Perubahan Iklim dan Pemanasan Global
Isu paling menonjol saat ini adalah tentang perubahan iklim dan pemanasan global.  Isu ini merupakan representasi dari pertentangan panjang kondisi kekinian alam dan lingkungan.  Pertentangan itu mulai dibicarakan pada KTT Bumi di Rio de Janeiro Brasil tahun 1992.  Sebanyak 150 negara pada KTT tersebut menyepakati harus ada perjanjian kerjasama antar negara dalam menyikapi kondisi kekinian dan masa mendatang.  Pada tahun 1997, negara-negara tersebut merumuskan persetujuan yang lebih detail yang lebih dikenal dengan Protokol Kyoto.
Pada Protokol Kyoto tersebut telah disadari bahwa Bumi menghadapi pemanasan yang cepat, yang oleh para ilmuwan disebut dengan pemanasan global. Penyebab utama pemanasan ini adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, yang melepas karbondioksida dan gas-gas lainnya yang dikenal sebagai gas rumah kaca ke atmosfer.   Selama seratus tahun terakhir, rata-rata temperatur ini telah meningkat sebesar 0,6 derajat Celsius (1 derajat Fahrenheit) dari sekitar 15°C (59°F). Para ilmuwan memperkirakan pemanasan lebih jauh hingga 1,4 - 5,8 derajat Celsius (2,5 - 10,4 derajat Fahrenheit) pada tahun 2100.
Kenaikan temperatur ini akan mengakibatkan mencairnya es di kutub dan menghangatkan lautan, yang mengakibatkan meningkatnya volume lautan serta menaikkan permukaannya sekitar 9 - 100 cm (4 - 40 inchi), menimbulkan banjir di daerah pantai, bahkan dapat menenggelamkan pulau-pulau. Beberapa daerah dengan iklim yang hangat akan menerima curah hujan yang lebih tinggi, tetapi tanah juga akan lebih cepat kering.  Kekeringan tanah ini akan merusak tanaman bahkan menghancurkan suplai makanan di beberapa tempat di dunia. Hewan dan tanaman akan bermigrasi ke arah kutub yang lebih dingin dan spesies yang tidak mampu berpindah akan musnah.
Berdasarkan laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada Protokol Kyoto, telah terjadi perubahan iklim secara dramatis yang berdampak pada terjadinya kekeringan dan banjir yang dahsyat.   Houghton (2005) menyatakan bahwa deforestasi menyumbang sekitar 20 % bagi pemanasan global.  Ada banyak penyebab deforestasi yang beragam menurut wilayahnya.  Di Indonesia sendiri (termasuk Sumatera Barat), deforestasi pada umumnya disebabkan oleh konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian dan perkebunan, pembalakan liar (illegal logging), kebakaran hutan dan lain sebagainya.
Namun implementasi dari Protokol Kyoto tersebut masih berjalan lambat.  Bahkan negara-negara maju seperti Amerika Serikat masih enggan meratifikasi persetujuan yang telah dihasilkan.  Oleh karena itu pada KTT Perubahan Iklim di Bali pada tahun 2007 menggagas sebuah langkah yang lebih aplikatif dengan Bali Road Map.  Bali Road Map ini memfokuskan aksi pada upaya antisipasi perubahan iklim melalui mitigasi, adaptasi, teknologi dan keuangan.
Hal lain yang menjadi diskusi lanjutan terhadap Bali Road Map adalah mencakup penggunaan pendekatan sektoral, sebuah pendekatan untuk meningkatkan efektifitas dalam aksi mitigasi termasuk mekanisme pasar dan isu pengurangan karbon akibat deforestasi dan degradasi hutan di negara-negara berkembang atau yang lebih dikenal dengan REDD.
Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Pada sisi lain, hutan dalam konteks perubahan iklim dapat berperan sebagai sink (penyerap/penyimpan carbon) maupun source (pengemisi carbon). Deforestasi dan degradasi meningkatkan source, sedangkan penghijauan, reboisasi dan kegiatan penanaman lainnya meningkatkan sink.  Secara umum, kondisi penutupan lahan hutan Sumatera Barat masih cukup baik dan perlu dipertahankan sebagai sumber penyerap/penyimpan karbon.  Menurut data Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Barat, 52 % dari luas wilayah Sumatera Barat merupakan lahan berhutan yang perlu dipertahankan keberadaan.
Namun, berdasarkan data BPDAS Agam Kuantan, BPDAS Indragiri Rokan dan BPDAS Batanghari tahun 2009, disebutkan akibat berbagai aktifitas konversi lahan, pembalakan liar, kebakaran dan lain sebagainya telah memunculkan lahan-lahan kritis disemua DAS yang ada di Sumatera Barat.  Diperkirakan lebih kurang 1,2 juta ha lahan kritis di Sumatera Barat dengan kategori agak kritis, kritis dan sangat kritis yang perlu rehabilitasi sesegera mungkin dengan menanam pohon melalui berbagai program dan kegiatan untuk  mengembalikan penutupan lahan.
Dalam rangka percepatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL), Pemerintah Propinsi Sumatera Barat dengan dukungan dari Pemerintah Kabupaten/Kota se-Sumatera Barat telah menjalankan sejumlah program dan kegiatan baik berupa kampanye menanam, persemaian, pengembangan kelembagaan, reboisasi, penghijauan, serta pembinaan dan pengendalian penyelenggaraan RHL se-Sumatera Barat.
Kampanye menanam dirangkai dalam berbagai bentuk kegiatan seperti kegiatan Kecil Menanam Dewasa Memanen (KMDM) pada SD/MI, Kampanye Indonesia Menanam (KIM) dan Gerakan Bakti Penghijauan Pemuda (GBPP) serta Puncak Aksi Penanaman Satu Milyar Pohon (One Billion Indonesian Trees) yang menanam sebanyak-banyaknya pohon.  Kegiatan Kampanye Menanam merupakan bagian dari upaya mendukung target penanaman pohon lebih dari 20 juta pohon di Sumatera Barat.
Guna mendukung program Satu Milyar Pohon, Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Barat, UPT Kementerian Kehutanan dan Dinas Kabupaten/Kota secara rutin selalu menyediakan bibit tanaman kehutanan yang terdiri dari Mahoni, Surian, Durian, Karet, dan lain sebagainya melalui Unit Persemaian Permanen yang ada atau pada unit-unit Kebun Bibit Rakyat yang dibangun di seluruh nagari yang ada di Sumatera Barat.  Target penyediaan bibit mencapai lebih dari 20 juta batang dan didistribusikan ke berbagai kelompok masyarakat/instansi yang meminta bantuan bibit, yang juga merupakan bagian dari mendukung program Satu Milyar Pohon. 
Pemerintah Propinsi Sumatera Barat beserta Pemerintah Kabupaten/Kota juga menaruh perhatian serius untuk mempercepat rehabilitasi kawasan hutan, baik pada kawasan hutan konservasi, hutan lindung maupun hutan produksi.  Lebih kurang dari 5.000 ha hutan kritis selalu direboisasi setiap tahunnya melalui berbagai kegiatan kehutanan.  Disamping itu, juga diselenggarakan sejumlah kegiatan penghijauan berupa pengembangan aneka tanaman hutan baik kayu-kayuan maupun tanaman serba guna lainnya melalui budidaya Gaharu, hutan rakyat, aneka usaha kehutanan dan lain sebagainya.  Upaya-upaya penghijauan tersebut ditaksir dapat merehabilitasi ± 15.000 ha lahan kritis.
Pemberdayaan Masyarakat
Mendorong partisipasi masyarakat menjadi hal yang lebih penting dalam segala upaya penyelamatan alam dan lingkungan.  Kurangnya peran aktif masyarakat dapat mempertajam konflik yang selama ini sudah semakin mengemuka.  Meminimalisir konflik tersebut, Kementerian Kehutanan meluncurkan sejumlah program-program pemberdayaan masyarakat seperti Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Desa.
Saat ini, di Sumatera Barat telah dicadangkan ± 5.500 ha kawasan hutan produksi untuk dikelola oleh masyarakat dalam skema HTR.  Pada kawasan hutan lindung maupun hutan produksi yang dibutuhkan oleh masyarakat, juga telah diarahkan ± 15.000 ha areal untuk pengembangan HKm.  Bahkan Gubernur Sumatera Barat telah memberikan Hak Pengelolaan Hutan Desa/Nagari kepada masyarakat Nagari Simanau Kabupaten Solok dan Simancuang Nagari Alam Pauh Duo Kabupaten Solok Selatan dengan luasan mencapai 1.738 ha.
Selain itu, dalam rangka pemberdayaan masyarakat sekitar hutan, Pemerintah Propinsi Sumatera Barat juga melaksanakan berbagai kegiatan pendampingan kelembagaan berupa kegiatan Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan/Nagari (SPKP/SPKN), Pendampingan Kelompok Usaha Produktif (KUP) serta Pelatihan Kelompok Tani.  Guna memperkuat kelembagaan masyarakat/ kelompok peduli kehutanan, Dinas Kehutanan juga memfasilitasi pembentukan Himpunan Pelestari Hutan Andalan (HPHA) yang menjadi forum koordinasi dan sinkronisasi antara pemerintah, penyuluh, kelompok tani, LSM dan kelompok peduli kehutanan lainnya.  Proses kelembagaan ini diarahkan agar masyarakat/petani dapat meningkatkan usaha berbasis hasil hutan dengan mengembangkan budidaya Lebah Madu, Aren, Jamur Tiram dan lain sebagainya.

Harapan Kedepan
Dari serangkaian kegiatan reboisasi dan penghijauan serta pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh Pemerintah, telah banyak tanaman kehutanan yang ditanam dan telah didistribusikan ke beberapa kelompok/instansi.  Artinya, secara kuantitatif telah banyak tanaman kehutanan yang ditanam melalui berbagai program dan kegiatan yang dijalankan.  Bahkan secara swadaya, masyarakat juga telah menggalakkan penanaman pohon di tanah milik sendiri guna menghasilkan kayu pertukangan.  Buktinya, sampai saat permintaan kayu rakyat sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.33/Menhut-II/2007 cenderung semakin meningkat dari waktu ke waktu.  Fakta ini sedikit banyaknya dapat menggambarkan bahwa penanaman yang dilakukan masyarakat telah membuahkan hasil dibeberapa tempat, seiring dengan semakin menurunnya produksi kayu dari hutan alam.
Akan tetapi, manfaat hutan dan lahan yang telah direhabilitasi berkemungkinan akan terus bergeser dari hanya berorientasi kayu (timber oriented) menjadi pemanfaatan jasa lingkungan.  Bahkan produk jasa lingkungan seperti air, wisata alam, perdagangan karbon dan lainnya berpotensi menghasilkan manfaat ekonomi yang lebih menguntungkan, baik ditinjau dari sisi sosial maupun ekologi.  Dengan adanya kesepakatan antisipasi pemanasan global, yang terakhir pada Conference of Parties (COP) 15 di Copenhagen Denmark, terjalin suatu komitmen bersama dari negara maju untuk memberikan kompensasi kepada negara-negara yang berupaya menjaga kelestarian hutannya sebagai bagian dari Clean Development Mechanism (CDM).
Sumatera Barat dengan hutan hujan tropis yang menjadi kekhasan karakter kewilayahannya harus terus berupaya menjaga kelestarian hutannya melalui perlindungan dan rehabilitasi.  Bukan hanya bermanfaat untuk menjaga keseimbangan ekosistem di wilayah ini, namun dimasa mendatang akan menjadi sumbangan yang berharga dari masyarakat Sumatera Barat bagi masyarakat dunia dalam rangka mengatasi pemanasan global.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar