PERAN SEKTOR KEHUTANAN DALAM
PENYELAMATAN ALAM DAN LINGKUNGAN
(Tinjauan Aksi Nyata Sumatera Barat
dalam Rehabilitasi Hutan dan Lahan)
Oleh :
Ferdinal Asmin *)
Alam dan
lingkungan menjadi rahmat Allah SWT yang membawa kelimpahan kenikmatan bagi
umat manusia dan menjadi modal dalam mendorong kemajuan sosial ekonomi. Alam dan lingkungan menyediakan ragam
kebutuhan manusia. Alam dan lingkungan
melindungi manusia menjalankan aktifitas-aktifitas sosial ekonomi yang menjadi
kebanggaannya.
Namun
alam dan lingkungan tak selamanya akan menjadi sahabat bagi manusia. Ketika manusia sudah menjadi serakah, alam
dan lingkungan lebih cenderung menjadi musuh bagi manusia. Maka tidak mengherankan bagi kita bahwa saat
ini banyak terjadi perdebatan tentang kondisi hubungan alam dan lingkungan
dengan manusia saat ini. Masih banyak
yang menilai bahwa alam dan lingkungan masih mampu menyediakan ragam kebutuhan
bagi manusia. Namun tak kalah banyaknya
yang menilai bahwa alam dan lingkungan sudah mulai bosan melihat tingkah laku
manusia yang cenderung serakah dalam mengeksploitasi alam dan lingkungan.
Perdebatan
terhadap kondisi kekinian alam dan lingkungan di sekitar kita menjadi isu-isu
global yang menjadi perhatian seluruh negara di dunia. Negara-negara maju menilai bahwa
negara-negara berkembang telah gagal dalam mengelola alam dan lingkungan yang
menyebabkan semakin berkurangnya kemampuan alam dan lingkungan dalam
menyediakan ragam kebutuhan manusia.
Tapi negara-negara berkembang dan tak berkembang memiliki penilaian yang
bertentangan, dimana mereka menilai bahwa negara-negara maju merupakan negara
yang serakah terhadap alam dan lingkungannya bahkan mereka pun menjarah sumber
daya alam dan lingkungan pada negara-negara berkembang dan tak berkembang.
Perubahan
Iklim dan Pemanasan Global
Isu
paling menonjol saat ini adalah tentang perubahan iklim dan pemanasan
global. Isu ini merupakan representasi
dari pertentangan panjang kondisi kekinian alam dan lingkungan. Pertentangan itu mulai dibicarakan pada KTT
Bumi di Rio de Janeiro Brasil tahun 1992.
Sebanyak 150 negara pada KTT tersebut menyepakati harus ada perjanjian
kerjasama antar negara dalam menyikapi kondisi kekinian dan masa
mendatang. Pada tahun 1997,
negara-negara tersebut merumuskan persetujuan yang lebih detail yang lebih
dikenal dengan Protokol Kyoto.
Pada Protokol Kyoto tersebut telah disadari bahwa
Bumi menghadapi pemanasan yang cepat, yang oleh para ilmuwan disebut dengan
pemanasan global. Penyebab utama pemanasan ini adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, yang melepas karbondioksida dan gas-gas lainnya
yang dikenal sebagai gas rumah kaca ke atmosfer. Selama seratus tahun terakhir, rata-rata
temperatur ini telah meningkat sebesar 0,6 derajat Celsius (1 derajat
Fahrenheit) dari sekitar 15°C (59°F). Para ilmuwan memperkirakan pemanasan lebih jauh
hingga 1,4 - 5,8 derajat Celsius (2,5 - 10,4 derajat Fahrenheit) pada tahun
2100.
Kenaikan temperatur ini akan mengakibatkan
mencairnya es di kutub dan menghangatkan lautan, yang mengakibatkan
meningkatnya volume lautan serta menaikkan permukaannya sekitar 9 - 100 cm (4 -
40 inchi), menimbulkan banjir di daerah pantai, bahkan dapat menenggelamkan
pulau-pulau. Beberapa daerah dengan iklim yang hangat akan
menerima curah hujan yang lebih tinggi, tetapi tanah juga akan lebih cepat
kering. Kekeringan tanah ini akan
merusak tanaman bahkan menghancurkan suplai makanan di beberapa tempat di
dunia. Hewan dan tanaman akan bermigrasi ke arah kutub yang lebih dingin dan
spesies yang tidak mampu berpindah akan musnah.
Berdasarkan laporan Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC) pada Protokol Kyoto, telah terjadi perubahan
iklim secara dramatis yang berdampak pada terjadinya kekeringan dan banjir yang
dahsyat. Houghton (2005) menyatakan bahwa deforestasi menyumbang sekitar 20 % bagi
pemanasan global. Ada banyak penyebab
deforestasi yang beragam menurut wilayahnya.
Di Indonesia sendiri (termasuk Sumatera Barat), deforestasi pada umumnya
disebabkan oleh konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian dan perkebunan,
pembalakan liar (illegal logging),
kebakaran hutan dan lain sebagainya.
Namun
implementasi dari Protokol Kyoto tersebut masih berjalan lambat. Bahkan negara-negara maju seperti Amerika
Serikat masih enggan meratifikasi persetujuan yang telah dihasilkan. Oleh karena itu pada KTT Perubahan Iklim di
Bali pada tahun 2007 menggagas sebuah langkah yang lebih aplikatif dengan Bali Road Map. Bali
Road Map ini memfokuskan aksi pada upaya antisipasi perubahan iklim melalui
mitigasi, adaptasi, teknologi dan keuangan.
Hal lain
yang menjadi diskusi lanjutan terhadap Bali
Road Map adalah mencakup penggunaan pendekatan sektoral, sebuah pendekatan
untuk meningkatkan efektifitas dalam aksi mitigasi termasuk mekanisme pasar dan
isu pengurangan karbon akibat deforestasi dan degradasi hutan di negara-negara
berkembang atau yang lebih dikenal dengan REDD.
Rehabilitasi
Hutan dan Lahan
Pada
sisi lain, hutan dalam konteks perubahan iklim dapat berperan sebagai sink (penyerap/penyimpan carbon) maupun source (pengemisi carbon). Deforestasi
dan degradasi meningkatkan source,
sedangkan penghijauan, reboisasi dan kegiatan penanaman lainnya meningkatkan sink.
Secara umum, kondisi penutupan lahan hutan Sumatera Barat masih cukup
baik dan perlu dipertahankan sebagai sumber penyerap/penyimpan karbon. Menurut data Dinas Kehutanan Propinsi
Sumatera Barat, 52 % dari luas wilayah Sumatera Barat merupakan lahan berhutan
yang perlu dipertahankan keberadaan.
Namun, berdasarkan data BPDAS Agam Kuantan, BPDAS
Indragiri Rokan dan BPDAS Batanghari tahun 2009, disebutkan akibat berbagai
aktifitas konversi lahan, pembalakan liar, kebakaran dan lain sebagainya telah
memunculkan lahan-lahan kritis disemua DAS yang ada di Sumatera Barat. Diperkirakan lebih kurang 1,2 juta ha lahan
kritis di Sumatera Barat dengan kategori agak kritis, kritis dan sangat kritis
yang perlu rehabilitasi sesegera mungkin dengan menanam pohon melalui berbagai
program dan kegiatan untuk mengembalikan
penutupan lahan.
Dalam rangka percepatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan
(RHL), Pemerintah Propinsi Sumatera Barat dengan dukungan dari Pemerintah
Kabupaten/Kota se-Sumatera Barat telah menjalankan sejumlah program dan
kegiatan baik berupa kampanye menanam, persemaian, pengembangan kelembagaan, reboisasi,
penghijauan, serta pembinaan dan pengendalian penyelenggaraan RHL se-Sumatera
Barat.
Kampanye menanam dirangkai dalam berbagai bentuk
kegiatan seperti kegiatan Kecil Menanam Dewasa Memanen (KMDM) pada SD/MI,
Kampanye Indonesia Menanam (KIM) dan Gerakan Bakti Penghijauan Pemuda (GBPP) serta
Puncak Aksi Penanaman Satu Milyar Pohon (One
Billion Indonesian Trees) yang menanam sebanyak-banyaknya pohon. Kegiatan Kampanye Menanam merupakan bagian
dari upaya mendukung target penanaman pohon lebih dari 20 juta pohon di
Sumatera Barat.
Guna mendukung program Satu Milyar Pohon, Dinas
Kehutanan Propinsi Sumatera Barat, UPT Kementerian Kehutanan dan Dinas
Kabupaten/Kota secara rutin selalu menyediakan bibit tanaman kehutanan yang
terdiri dari Mahoni, Surian, Durian, Karet, dan lain sebagainya melalui Unit
Persemaian Permanen yang ada atau pada unit-unit Kebun Bibit Rakyat yang
dibangun di seluruh nagari yang ada di Sumatera Barat. Target penyediaan bibit mencapai lebih dari
20 juta batang dan didistribusikan ke berbagai kelompok masyarakat/instansi
yang meminta bantuan bibit, yang juga merupakan bagian dari mendukung program Satu
Milyar Pohon.
Pemerintah Propinsi Sumatera Barat beserta
Pemerintah Kabupaten/Kota juga menaruh perhatian serius untuk mempercepat
rehabilitasi kawasan hutan, baik pada kawasan hutan konservasi, hutan lindung
maupun hutan produksi. Lebih kurang dari
5.000 ha hutan kritis selalu direboisasi setiap tahunnya melalui berbagai
kegiatan kehutanan. Disamping itu, juga diselenggarakan
sejumlah kegiatan penghijauan berupa pengembangan aneka tanaman hutan baik
kayu-kayuan maupun tanaman serba guna lainnya melalui budidaya Gaharu, hutan
rakyat, aneka usaha kehutanan dan lain sebagainya. Upaya-upaya penghijauan tersebut ditaksir
dapat merehabilitasi ± 15.000 ha lahan kritis.
Pemberdayaan Masyarakat
Mendorong partisipasi masyarakat menjadi hal yang
lebih penting dalam segala upaya penyelamatan alam dan lingkungan. Kurangnya peran aktif masyarakat dapat
mempertajam konflik yang selama ini sudah semakin mengemuka. Meminimalisir konflik tersebut, Kementerian
Kehutanan meluncurkan sejumlah program-program pemberdayaan masyarakat seperti
Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Desa.
Saat ini, di Sumatera Barat telah dicadangkan ±
5.500 ha kawasan hutan produksi untuk dikelola oleh masyarakat dalam skema HTR. Pada kawasan hutan lindung maupun hutan
produksi yang dibutuhkan oleh masyarakat, juga telah diarahkan ± 15.000 ha
areal untuk pengembangan HKm. Bahkan
Gubernur Sumatera Barat telah memberikan Hak Pengelolaan Hutan Desa/Nagari
kepada masyarakat Nagari Simanau Kabupaten Solok dan Simancuang Nagari Alam
Pauh Duo Kabupaten Solok Selatan dengan luasan mencapai 1.738 ha.
Selain itu, dalam rangka
pemberdayaan masyarakat sekitar hutan, Pemerintah Propinsi Sumatera Barat juga
melaksanakan berbagai kegiatan pendampingan kelembagaan berupa kegiatan Sentra
Penyuluhan Kehutanan Pedesaan/Nagari (SPKP/SPKN), Pendampingan Kelompok Usaha
Produktif (KUP) serta Pelatihan Kelompok Tani.
Guna memperkuat kelembagaan masyarakat/ kelompok peduli kehutanan, Dinas
Kehutanan juga memfasilitasi pembentukan Himpunan Pelestari Hutan Andalan
(HPHA) yang menjadi forum koordinasi dan sinkronisasi antara pemerintah,
penyuluh, kelompok tani, LSM dan kelompok peduli kehutanan lainnya. Proses kelembagaan ini diarahkan agar
masyarakat/petani dapat meningkatkan usaha berbasis hasil hutan dengan
mengembangkan budidaya Lebah Madu, Aren, Jamur Tiram dan lain sebagainya.
Harapan Kedepan
Dari serangkaian kegiatan
reboisasi dan penghijauan serta pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh Pemerintah,
telah banyak tanaman kehutanan yang ditanam dan telah didistribusikan ke
beberapa kelompok/instansi. Artinya,
secara kuantitatif telah banyak tanaman kehutanan yang ditanam melalui berbagai
program dan kegiatan yang dijalankan.
Bahkan secara swadaya, masyarakat juga telah menggalakkan penanaman
pohon di tanah milik sendiri guna menghasilkan kayu pertukangan. Buktinya, sampai saat permintaan kayu rakyat
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor :
P.33/Menhut-II/2007 cenderung semakin meningkat dari waktu ke waktu. Fakta ini sedikit banyaknya dapat
menggambarkan bahwa penanaman yang dilakukan masyarakat telah membuahkan hasil
dibeberapa tempat, seiring dengan semakin menurunnya produksi kayu dari hutan
alam.
Akan tetapi, manfaat hutan dan lahan yang telah
direhabilitasi berkemungkinan akan terus bergeser dari hanya berorientasi kayu
(timber oriented) menjadi pemanfaatan
jasa lingkungan. Bahkan produk jasa
lingkungan seperti air, wisata alam, perdagangan karbon dan lainnya berpotensi
menghasilkan manfaat ekonomi yang lebih menguntungkan, baik ditinjau dari sisi
sosial maupun ekologi. Dengan adanya
kesepakatan antisipasi pemanasan global, yang terakhir pada Conference of Parties (COP) 15 di Copenhagen
Denmark, terjalin suatu komitmen bersama dari negara maju untuk memberikan
kompensasi kepada negara-negara yang berupaya menjaga kelestarian hutannya
sebagai bagian dari Clean Development
Mechanism (CDM).
Sumatera Barat dengan hutan hujan tropis yang
menjadi kekhasan karakter kewilayahannya harus terus berupaya menjaga
kelestarian hutannya melalui perlindungan dan rehabilitasi. Bukan hanya bermanfaat untuk menjaga keseimbangan
ekosistem di wilayah ini, namun dimasa mendatang akan menjadi sumbangan yang
berharga dari masyarakat Sumatera Barat bagi masyarakat dunia dalam rangka
mengatasi pemanasan global.