Senin, 30 Desember 2013

REVITALISASI HUTAN ADAT



REVITALISASI HUTAN ADAT
Pengakuan Kepemilikan Hutan Adat
Bagi masyarakat hukum adat, pengakuan pemerintah terhadap kepemilikan tanah, termasuk hutan, merupakan substansi hakiki untuk mempertahankan sistem hukum yang mereka jalankan.  Sumber daya alam menjadi sumber inspirasi peningkatan kapasitas mereka dalam pembangunan sosial dan ekonomi dengan tetap memperhatikan kearifan ekologis yang telah berkembang di tengah-tengah kehidupan mereka.  Distorsi hukum adat yang terjadi sepanjang sejarah rezim pemerintahan di Indonesia harus ditata ulang dengan pendekatan rekognisi hak masyarakat hukum adat dalam pengelolaan sumber daya hutan.
Pemerintah, selaku pemegang mandat pengurusan hutan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, harus menanggalkan sikap skeptis terhadap kemampuan masyarakat hukum adat dalam pengelolaan sumber daya hutan karena masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang berpikir komprehensif dan holistik untuk generasinya saat ini dan generasinya masa mendatang dalam kerangka hukum dan kelembagaan adat yang implementatif.  Fokus pemerintah adalah menjamin bahwa hak ulayat dengan seperangkat hukum yang mengaturnya didapatkan secara adil oleh masyarakat hukum adat.
Hak ulayat ini berbeda dengan hak milik orang per orang yang diperoleh karena membuka tanah atau hutan.  Hak milik atas tanah dapat pula diperoleh dari hak pakai atas tanah kesatuan sosial (masyarakat [hukum] adat) apabila hak itu menjadi tetap dan turun temurun. Hak milik mutlak tidak dikenal dalam hukum adat (Van Vollenhoven 1972 dalam Suharjito 2013:429).  Demikian pula menurut Ter Haar (1960) dalam Suharjito (2013:429), hak untuk beschikken (menguasai mutlak) dalam arti kata memindahtangankan tidak ditemukan dalam masyarakat suku bangsa di Indonesia. Kaidah “daerah pertuanan” (beschikkingsgebeid) tidak dapat dipindahtangankan tetap pertama-tama berlaku, walaupun ada beberapa [pengecualian], misalnya karena peperangan [dan] tekanan pemerintah pusat.  Ketentuan bahwa tidak ada hak milik mutlak ini dalam UUPA [Tahun] 1960 disebut sebagai fungsi sosial dari tanah.
Kebijakan Revitalisasi
Kita harus jujur mengakui bahwa komitmen pemerintah dalam mendorong Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) pada kawasan hutan negara masih lemah.  Pengembangan PHBM masih kalah dengan pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI).  Contohnya,  sampai tahun 2011, perizinan HTR dan HKm baru mencapai sekitar 165 ribu ha dan 44 ribu ha, masing-masingnya. Sementara luas areal HTI meningkat tajam dari hanya sekitar 30 ribu ha pada tahun 1990 menjadi lebih dari 10 juta ha pada tahun 2011 (Kemenhut 2012).
 Sebagai salah satu skema dalam PHBM, hutan adat perlu dipandang dalam 3 aspek penting yaitu sosial, ekonomi, dan ekologi sebagaimana perspektif pembangunan berkelanjutan yang mampu menjembatani dinamika permasalahan secara komprehensif dan holistik.  Untuk mencapai hal tersebut, kebijakan yang dapat diambil pemerintah adalah sebagai berikut :
1.  Kebijakan sosial politik, secara khusus melalui revisi terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan untuk mengakomodir kepentingan hakiki dari masyarakat hukum adat dan secara umum mendorong pembuatan undang-undang yang mengatur tentang masyarakat hukum adat itu sendiri dalam arti luas.  Komitmen politik (political will) dari pemerintah harus diwujudkan melalui penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang mampu memaknai masyarakat hukum adat sebagai bagian sistem hukum nasional yang saling melengkapi.  Kita masih memiliki modal sosial yang kuat berupa sistem kekerabatan yang masih kental (seperti pada masyarakat Minangkabau) dan sistem kelembagaan yang mengutamakan musyawarah mufakat.
2.  Kebijakan ekonomi rakyat, dengan menjadikan masyarakat hukum adat sebagai penggerak utama perekonomian wilayah dan memperluas akses mereka terhadap lembaga-lembaga keuangan yang ada dengan layanan berbasis sistem hukum yang mereka anut.  Badan Layanan Umum (BLU) Kementerian Kehutanan sebagai salah satu lembaga keuangan dalam pembangunan kehutanan dapat menjadi lokomotif fasilitasi permodalan berbasis sistem hukum adat.  Akan menjadi lebih monumental, apabila pemerintah menginisiasi pembentukan Bank Adat dan/atau mendelegasikan tugas layanan berbasis sistem hukum adat ini pada salah satu bank nasional. 
3. Kebijakan ekologi optimum, melalui optimalisasi implementasi Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), dan Hutan Desa (HD) dalam kerangka sistem hukum adat setempat dan menjamin tata kelola adat pada lahan-lahan di luar kawasan hutan.  Yang paling penting dalam kebijakan ini adalah memberikan kewenangan masyarakat hukum adat dalam menentukan tata ruang mikro berbasis ekologis untuk mencapai kemandirian pangan, kelestarian sumber daya,  dan peningkatan kapasitas.  Untuk mencapai tujuan tersebut, pada wilayah-wilayah yang pondasi sosial ekonominya didukung oleh masyarakat hukum adat (contohnya Sumatera Barat), perlu dibentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan Adat (KPHA) sebagai unit manajemen berbasis sistem hukum adat.

Sabtu, 06 Juli 2013

PERSPEKTIF SUMATERA BARAT DALAM IMPLEMENTASI PHBM



PERSPEKTIF SUMATERA BARAT DALAM IMPLEMENTASI PHBM

Oleh :
Ferdinal Asmin


Gubernur Sumatera Barat, Irwan Prayitno, pada Lokakarya Penyiapan Skema Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Sebagai Penerima Manfaat Utama Pendanaan Karbon dan Mendukung Target Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca yang dilaksanakan di Hotel Mercure Padang pada tanggal 29 – 31 Mei 2012, telah meluncurkan target perluasan skema PHBM di Sumatera Barat sebesar minimal 250.000 hektar.  Dari target tersebut, telah dirinci oleh Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Barat untuk memperluas skema PHBM itu pada masing-masing Kabupaten/Kota se-Sumatera Barat dengan total arahan indikatif seluas 500.000 hektar.
Melihat jumlah target dan total arahan indikatif perluasan skema PHBM di Sumatera Barat, ternyata ada yang optimis dan juga ada yang pesimis hal tersebut bisa dicapai.  Yang optimis pasti memberikan apresiasi terhadap apa yang telah dicanangkan Sumatera Barat.  Tapi yang pesimis tentunya pasti meragukan kemampuan Sumatera Barat untuk mencapai hal tersebut.  Namun optimisme dan pesimisme tersebut tentunya didasari pada suatu keinginan untuk kemajuan pengelolaan hutan Sumatera Barat yang lebih baik kedepannya.
Konsepsi PHBM
Istilah PHBM memang masih banyak membingungkan dan diinterpretasikan secara beragam, bahkan di kalangan rimbawan sendiri.  Hal ini sedikit banyaknya dapat tergambarkan pada kurangnya pemahaman rimbawan dalam menangkap esensi dari PHBM itu sendiri.  Pertanyaan-pertanyaan mendasarpun selalu mengemuka seperti bisakah masyarakat mengelola hutan sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan yang ada ?  Bukankah dengan PHBM ini akan semakin memicu meningkatnya tekanan masyarakat terhadap kawasan hutan yang ada ? Dan sejumlah pertanyaan lainnya.
Penggunaan singkatan PHBM juga dengan bermacam kepanjangan.  Ada yang menggunakan istilah Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, dan/atau ada juga yang menggunakan istilah Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat.  Sumatera Barat lebih suka menggunakan istilah yang terakhir atau yang lebih dikenal dengan Community Based Forest Management (CBFM) dengan argumentasi bahwa secara historis, masyarakat Sumatera Barat banyak mengembangkan best practices pengelolaan hutan dan lahan dengan kearifan lokal yang dimilikinya, dan hal tersebut ternyata menjadi sebuah keunggulan.
Menurut Wiersum (2004), ada dua fokus utama CBFM yaitu (1) pengelolaan hutan oleh masyarakat dalam bentuk pengelolaan sumber daya hutan pada berbagai jenis lahan dalam wilayah teritorial masyarakat dan (2) pengelolaan bersama dalam bentuk kolaborasi berbagai kelompok masyarakat dalam pengelolaan lahan hutan negara berdasarkan pendelegasian tanggung jawab oleh pemerintah. 
Merujuk pada fokus utama tersebut, maka CBFM di Sumatera Barat dilakukan dengan pendekatan strategi kehutanan sosial (social forestry) dimana strategi ini diharapkan merupakan payung bagi semua jenis aktifitas pengelolaan sumber daya alam berbasis hutan dan lahan.  Dalam kerangka strategi social forestry tersebut, ada 5 tahapan yang harus dikerjakan, yaitu (1) memahami karakter wilayah baik secara sosial budaya, ekonomi dan ekologis, (2) mengidentifikasi subsistem yang mempengaruhi sistem pembangunan wilayah, (3) melakukan kajian means end values, (4) menentukan tujuan pengelolaan, dan (5) menetapkan regime pengelolaan yang akan dilakukan.
Jadi, skema CBFM sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan terkait dengan kehutanan digunakan sebagai alat/media untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan dan lahan yang lebih baik.  Yang lebih penting dari itu adalah menjamin bahwa proses sebagaimana diprasyaratkan dalam strategi social forestry tersebut secara konsisten dijalankan dalam mengembangkan berbagai praktek kelola hutan dan lahan.
Hal yang juga menjadi perhatian penting dalam pengembangan PHBM di Sumatera Barat adalah aktualisasi kapasitas rimbawan profesional dalam menstimulasi peran aktif masyarakat lokal dalam skala tertentu dan mengembangkan aneka aktifitas pengelolaan hutan sebagai alat memperbaiki kesejahteraan masyarakat.  Pengembangan cara-cara menstimulasi masyarakat lokal untuk mengintensifkan pengelolaan hutan terdiri dari menjamin akses terhadap lahan, insentif finansial, dukungan teknis, penyuluhan, penyusunan kerangka kelembagaan yang tepat, aspek legalitas, kebijakan tenure, penguatan kelembagaan kehutanan dan lain sebagainya.
Peta Jalan Implementasi PHBM
Dalam rangka pencapaian target pengembangan PHBM di Sumatera Barat, Pemerintah Propinsi Sumatera Barat melalui Dinas Kehutanan telah mengelaborasi langkah-langkah strategis pencapaian target dalam buku Rencana Kerja Pengembangan Perhutanan Sosial Tahun 2012 – 2017.  Buku ini merupakan peta jalan (roadmap) pencapaian target perluasan skema PHBM yang menjelaskan langkah-langkah yang akan dilakukan, uraian target masing-masing kabupaten/kota dan dukungan pihak yang diperlukan.
Dalam peta jalan tersebut, pengembangan social forestry menjadi instrumen penting promosi pengelolaan hutan sesuai dengan kearifan lokal yang telah berkembang di masyarakat/nagari.  Oleh karena itu, tujuan implementasi PHBM adalah untuk mewujudkan pembangunan hutan dan kehutanan yang arif dan bijaksana melalui optimalisasi peran aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan dengan basis kearifan lokal di tingkat nagari menuju hutan lestari masyarakat sejahtera.
Arahan kebijakan strategis, sasaran dan langkah-langkah dalam peta jalan tersebut sesuai dengan esensi tahapan pada strategi social forestry yang dipahami oleh Sumatera Barat.  Artinya, dalam pengembangan PHBM, Pemerintah Propinsi Sumatera Barat mengedepankan langkah-langkah memahami basis sosial ekonomi masyarakat secara komprehensif dan holistik dengan memperhatikan kondisi ekologis yang ada.  Pentingnya sebuah proses dalam mengembangkan PHBM diuraikan dalam rencana-rencana kegiatan yang memperkuat KISS (koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergisitas), mendorong FPIC dan/atau persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan, mengembangkan upaya fasilitasi intensif, mengembangkan pondasi kemitraan yang kuat, dan menjamin mekanisme kendali yang efektif melalui pemantauan dan penilaian secara berjenjang.
Peta jalan tersebut juga mendapatkan respon positif dari kabupaten/kota se-Sumatera Barat.  Beberapa kabupaten/kota telah merespon target yang dicanangkan oleh Gubernur tersebut.  Sesuai dengan peta jalan yang telah disusun, Sumatera Barat saat ini lebih menitikberatkan pada tahapan memahami karakter sosial ekonomi masyarakat dan menemukenali subsistem-subsistem yang mempengaruhi pembangunan wilayah serta mendorong upaya membangun kesepakatan di tingkat tapak melalui pemberian sosialisasi, penyuluhan, bimbingan kelembagaan, dan pemetaan partisipatif terhadap areal-areal yang telah, sedang dan akan menjadi areal kelola masyarakat.
Rasionalisasi Strategi
Untuk menjalankan peta jalan tersebut, Pemerintah Propinsi Sumatera Barat telah membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Pengembangan Perhutanan Sosial.  Pokja ini terdiri dari unsur Pemerintah Pusat (BPDAS Indragiri Rokan, BPDAS Batanghari, dan BPDAS Agam Kuantan), unsur Pemerintah Daerah (Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Barat) dan unsur Lembaga Swadaya Masyarakat (KKI-Warsi).  Ide dasar pembentukan Pokja ini adalah sebagai pusat layanan bagi Pemerintah Pusat dan Daerah (Propinsi/Kabupaten/Kota), Masyarakat, dan pihak terkait lainnya.
Pokja ini dapat langsung memberikan pelayanan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dan Masyarakat yang ingin mendapatkan informasi dan fasilitasi, membangun jejaring kerja, dan menjadi alat pengendali capaian target sesuai dengan kriteria dan standar yang telah ditetapkan.  Namun kedepan, keberadaan Pokja diharapkan dapat mendorong peningkatan kapasitas SDM pada berbagai level dalam memahami kebijakan strategis PHBM yang telah diluncurkan dan menjadi pemicu bagi tumbuh dan berkembangnya komitmen yang kuat dari para pihak untuk mendukung pengembangan PHBM.
Upaya konkrit lainnya yang telah didorong oleh Pokja adalah mentransfer roh PHBM ini sebagai kebijakan strategis yang akan dijalankan pada berbagai praktek pemanfaatan sumber daya berbasiskan hutan dan lahan.  Sebagai contoh, dalam penyusunan Strategi dan Rencana Aksi Propinsi untuk implementasi REDD+, Sumatera Barat juga mengembangkan kebijakan strategis PHBM ini sebagai basis implementasi REDD+.  Sumatera Barat menilai bahwa PHBM menjadi alternatif terbaik upaya pengurangan deforestasi dan degradasi dengan tetap memperhatikan perbaikan kesejahteraan masyarakat.  PHBM juga menjadi jawaban yang logis untuk menjembatani corporate dan masyarakat dalam satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya untuk mencapai keuntungan ekonomi dan ekologis yang dicita-citakan.
Akhirnya, semua target yang telah ditetapkan dapat dicapai secara rasional dengan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki Sumatera Barat.  Optimisme dan pesimisme adalah seperti sebuah proses yang akan bermuara pada tumbuh dan berkembangnya skema-skema PHBM.  Pasti akan ada pengalaman yang baik dan yang buruk dalam implementasinya.  Namun kita harus tetap berkomitmen, jadikan pengalaman sebagai pelajaran untuk memperbaiki proses yang telah, sedang dan akan dijalani.

PERAN SEKTOR KEHUTANAN DALAM PENYELAMATAN ALAM DAN LINGKUNGAN



PERAN SEKTOR KEHUTANAN DALAM
PENYELAMATAN ALAM DAN LINGKUNGAN
(Tinjauan Aksi Nyata Sumatera Barat dalam Rehabilitasi Hutan dan Lahan)

Oleh :
Ferdinal Asmin *)



Alam dan lingkungan menjadi rahmat Allah SWT yang membawa kelimpahan kenikmatan bagi umat manusia dan menjadi modal dalam mendorong kemajuan sosial ekonomi.  Alam dan lingkungan menyediakan ragam kebutuhan manusia.  Alam dan lingkungan melindungi manusia menjalankan aktifitas-aktifitas sosial ekonomi yang menjadi kebanggaannya.
Namun alam dan lingkungan tak selamanya akan menjadi sahabat bagi manusia.  Ketika manusia sudah menjadi serakah, alam dan lingkungan lebih cenderung menjadi musuh bagi manusia.  Maka tidak mengherankan bagi kita bahwa saat ini banyak terjadi perdebatan tentang kondisi hubungan alam dan lingkungan dengan manusia saat ini.  Masih banyak yang menilai bahwa alam dan lingkungan masih mampu menyediakan ragam kebutuhan bagi manusia.  Namun tak kalah banyaknya yang menilai bahwa alam dan lingkungan sudah mulai bosan melihat tingkah laku manusia yang cenderung serakah dalam mengeksploitasi alam dan lingkungan.
Perdebatan terhadap kondisi kekinian alam dan lingkungan di sekitar kita menjadi isu-isu global yang menjadi perhatian seluruh negara di dunia.  Negara-negara maju menilai bahwa negara-negara berkembang telah gagal dalam mengelola alam dan lingkungan yang menyebabkan semakin berkurangnya kemampuan alam dan lingkungan dalam menyediakan ragam kebutuhan manusia.  Tapi negara-negara berkembang dan tak berkembang memiliki penilaian yang bertentangan, dimana mereka menilai bahwa negara-negara maju merupakan negara yang serakah terhadap alam dan lingkungannya bahkan mereka pun menjarah sumber daya alam dan lingkungan pada negara-negara berkembang dan tak berkembang.
Perubahan Iklim dan Pemanasan Global
Isu paling menonjol saat ini adalah tentang perubahan iklim dan pemanasan global.  Isu ini merupakan representasi dari pertentangan panjang kondisi kekinian alam dan lingkungan.  Pertentangan itu mulai dibicarakan pada KTT Bumi di Rio de Janeiro Brasil tahun 1992.  Sebanyak 150 negara pada KTT tersebut menyepakati harus ada perjanjian kerjasama antar negara dalam menyikapi kondisi kekinian dan masa mendatang.  Pada tahun 1997, negara-negara tersebut merumuskan persetujuan yang lebih detail yang lebih dikenal dengan Protokol Kyoto.
Pada Protokol Kyoto tersebut telah disadari bahwa Bumi menghadapi pemanasan yang cepat, yang oleh para ilmuwan disebut dengan pemanasan global. Penyebab utama pemanasan ini adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, yang melepas karbondioksida dan gas-gas lainnya yang dikenal sebagai gas rumah kaca ke atmosfer.   Selama seratus tahun terakhir, rata-rata temperatur ini telah meningkat sebesar 0,6 derajat Celsius (1 derajat Fahrenheit) dari sekitar 15°C (59°F). Para ilmuwan memperkirakan pemanasan lebih jauh hingga 1,4 - 5,8 derajat Celsius (2,5 - 10,4 derajat Fahrenheit) pada tahun 2100.
Kenaikan temperatur ini akan mengakibatkan mencairnya es di kutub dan menghangatkan lautan, yang mengakibatkan meningkatnya volume lautan serta menaikkan permukaannya sekitar 9 - 100 cm (4 - 40 inchi), menimbulkan banjir di daerah pantai, bahkan dapat menenggelamkan pulau-pulau. Beberapa daerah dengan iklim yang hangat akan menerima curah hujan yang lebih tinggi, tetapi tanah juga akan lebih cepat kering.  Kekeringan tanah ini akan merusak tanaman bahkan menghancurkan suplai makanan di beberapa tempat di dunia. Hewan dan tanaman akan bermigrasi ke arah kutub yang lebih dingin dan spesies yang tidak mampu berpindah akan musnah.
Berdasarkan laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada Protokol Kyoto, telah terjadi perubahan iklim secara dramatis yang berdampak pada terjadinya kekeringan dan banjir yang dahsyat.   Houghton (2005) menyatakan bahwa deforestasi menyumbang sekitar 20 % bagi pemanasan global.  Ada banyak penyebab deforestasi yang beragam menurut wilayahnya.  Di Indonesia sendiri (termasuk Sumatera Barat), deforestasi pada umumnya disebabkan oleh konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian dan perkebunan, pembalakan liar (illegal logging), kebakaran hutan dan lain sebagainya.
Namun implementasi dari Protokol Kyoto tersebut masih berjalan lambat.  Bahkan negara-negara maju seperti Amerika Serikat masih enggan meratifikasi persetujuan yang telah dihasilkan.  Oleh karena itu pada KTT Perubahan Iklim di Bali pada tahun 2007 menggagas sebuah langkah yang lebih aplikatif dengan Bali Road Map.  Bali Road Map ini memfokuskan aksi pada upaya antisipasi perubahan iklim melalui mitigasi, adaptasi, teknologi dan keuangan.
Hal lain yang menjadi diskusi lanjutan terhadap Bali Road Map adalah mencakup penggunaan pendekatan sektoral, sebuah pendekatan untuk meningkatkan efektifitas dalam aksi mitigasi termasuk mekanisme pasar dan isu pengurangan karbon akibat deforestasi dan degradasi hutan di negara-negara berkembang atau yang lebih dikenal dengan REDD.
Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Pada sisi lain, hutan dalam konteks perubahan iklim dapat berperan sebagai sink (penyerap/penyimpan carbon) maupun source (pengemisi carbon). Deforestasi dan degradasi meningkatkan source, sedangkan penghijauan, reboisasi dan kegiatan penanaman lainnya meningkatkan sink.  Secara umum, kondisi penutupan lahan hutan Sumatera Barat masih cukup baik dan perlu dipertahankan sebagai sumber penyerap/penyimpan karbon.  Menurut data Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Barat, 52 % dari luas wilayah Sumatera Barat merupakan lahan berhutan yang perlu dipertahankan keberadaan.
Namun, berdasarkan data BPDAS Agam Kuantan, BPDAS Indragiri Rokan dan BPDAS Batanghari tahun 2009, disebutkan akibat berbagai aktifitas konversi lahan, pembalakan liar, kebakaran dan lain sebagainya telah memunculkan lahan-lahan kritis disemua DAS yang ada di Sumatera Barat.  Diperkirakan lebih kurang 1,2 juta ha lahan kritis di Sumatera Barat dengan kategori agak kritis, kritis dan sangat kritis yang perlu rehabilitasi sesegera mungkin dengan menanam pohon melalui berbagai program dan kegiatan untuk  mengembalikan penutupan lahan.
Dalam rangka percepatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL), Pemerintah Propinsi Sumatera Barat dengan dukungan dari Pemerintah Kabupaten/Kota se-Sumatera Barat telah menjalankan sejumlah program dan kegiatan baik berupa kampanye menanam, persemaian, pengembangan kelembagaan, reboisasi, penghijauan, serta pembinaan dan pengendalian penyelenggaraan RHL se-Sumatera Barat.
Kampanye menanam dirangkai dalam berbagai bentuk kegiatan seperti kegiatan Kecil Menanam Dewasa Memanen (KMDM) pada SD/MI, Kampanye Indonesia Menanam (KIM) dan Gerakan Bakti Penghijauan Pemuda (GBPP) serta Puncak Aksi Penanaman Satu Milyar Pohon (One Billion Indonesian Trees) yang menanam sebanyak-banyaknya pohon.  Kegiatan Kampanye Menanam merupakan bagian dari upaya mendukung target penanaman pohon lebih dari 20 juta pohon di Sumatera Barat.
Guna mendukung program Satu Milyar Pohon, Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Barat, UPT Kementerian Kehutanan dan Dinas Kabupaten/Kota secara rutin selalu menyediakan bibit tanaman kehutanan yang terdiri dari Mahoni, Surian, Durian, Karet, dan lain sebagainya melalui Unit Persemaian Permanen yang ada atau pada unit-unit Kebun Bibit Rakyat yang dibangun di seluruh nagari yang ada di Sumatera Barat.  Target penyediaan bibit mencapai lebih dari 20 juta batang dan didistribusikan ke berbagai kelompok masyarakat/instansi yang meminta bantuan bibit, yang juga merupakan bagian dari mendukung program Satu Milyar Pohon. 
Pemerintah Propinsi Sumatera Barat beserta Pemerintah Kabupaten/Kota juga menaruh perhatian serius untuk mempercepat rehabilitasi kawasan hutan, baik pada kawasan hutan konservasi, hutan lindung maupun hutan produksi.  Lebih kurang dari 5.000 ha hutan kritis selalu direboisasi setiap tahunnya melalui berbagai kegiatan kehutanan.  Disamping itu, juga diselenggarakan sejumlah kegiatan penghijauan berupa pengembangan aneka tanaman hutan baik kayu-kayuan maupun tanaman serba guna lainnya melalui budidaya Gaharu, hutan rakyat, aneka usaha kehutanan dan lain sebagainya.  Upaya-upaya penghijauan tersebut ditaksir dapat merehabilitasi ± 15.000 ha lahan kritis.
Pemberdayaan Masyarakat
Mendorong partisipasi masyarakat menjadi hal yang lebih penting dalam segala upaya penyelamatan alam dan lingkungan.  Kurangnya peran aktif masyarakat dapat mempertajam konflik yang selama ini sudah semakin mengemuka.  Meminimalisir konflik tersebut, Kementerian Kehutanan meluncurkan sejumlah program-program pemberdayaan masyarakat seperti Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Desa.
Saat ini, di Sumatera Barat telah dicadangkan ± 5.500 ha kawasan hutan produksi untuk dikelola oleh masyarakat dalam skema HTR.  Pada kawasan hutan lindung maupun hutan produksi yang dibutuhkan oleh masyarakat, juga telah diarahkan ± 15.000 ha areal untuk pengembangan HKm.  Bahkan Gubernur Sumatera Barat telah memberikan Hak Pengelolaan Hutan Desa/Nagari kepada masyarakat Nagari Simanau Kabupaten Solok dan Simancuang Nagari Alam Pauh Duo Kabupaten Solok Selatan dengan luasan mencapai 1.738 ha.
Selain itu, dalam rangka pemberdayaan masyarakat sekitar hutan, Pemerintah Propinsi Sumatera Barat juga melaksanakan berbagai kegiatan pendampingan kelembagaan berupa kegiatan Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan/Nagari (SPKP/SPKN), Pendampingan Kelompok Usaha Produktif (KUP) serta Pelatihan Kelompok Tani.  Guna memperkuat kelembagaan masyarakat/ kelompok peduli kehutanan, Dinas Kehutanan juga memfasilitasi pembentukan Himpunan Pelestari Hutan Andalan (HPHA) yang menjadi forum koordinasi dan sinkronisasi antara pemerintah, penyuluh, kelompok tani, LSM dan kelompok peduli kehutanan lainnya.  Proses kelembagaan ini diarahkan agar masyarakat/petani dapat meningkatkan usaha berbasis hasil hutan dengan mengembangkan budidaya Lebah Madu, Aren, Jamur Tiram dan lain sebagainya.

Harapan Kedepan
Dari serangkaian kegiatan reboisasi dan penghijauan serta pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh Pemerintah, telah banyak tanaman kehutanan yang ditanam dan telah didistribusikan ke beberapa kelompok/instansi.  Artinya, secara kuantitatif telah banyak tanaman kehutanan yang ditanam melalui berbagai program dan kegiatan yang dijalankan.  Bahkan secara swadaya, masyarakat juga telah menggalakkan penanaman pohon di tanah milik sendiri guna menghasilkan kayu pertukangan.  Buktinya, sampai saat permintaan kayu rakyat sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.33/Menhut-II/2007 cenderung semakin meningkat dari waktu ke waktu.  Fakta ini sedikit banyaknya dapat menggambarkan bahwa penanaman yang dilakukan masyarakat telah membuahkan hasil dibeberapa tempat, seiring dengan semakin menurunnya produksi kayu dari hutan alam.
Akan tetapi, manfaat hutan dan lahan yang telah direhabilitasi berkemungkinan akan terus bergeser dari hanya berorientasi kayu (timber oriented) menjadi pemanfaatan jasa lingkungan.  Bahkan produk jasa lingkungan seperti air, wisata alam, perdagangan karbon dan lainnya berpotensi menghasilkan manfaat ekonomi yang lebih menguntungkan, baik ditinjau dari sisi sosial maupun ekologi.  Dengan adanya kesepakatan antisipasi pemanasan global, yang terakhir pada Conference of Parties (COP) 15 di Copenhagen Denmark, terjalin suatu komitmen bersama dari negara maju untuk memberikan kompensasi kepada negara-negara yang berupaya menjaga kelestarian hutannya sebagai bagian dari Clean Development Mechanism (CDM).
Sumatera Barat dengan hutan hujan tropis yang menjadi kekhasan karakter kewilayahannya harus terus berupaya menjaga kelestarian hutannya melalui perlindungan dan rehabilitasi.  Bukan hanya bermanfaat untuk menjaga keseimbangan ekosistem di wilayah ini, namun dimasa mendatang akan menjadi sumbangan yang berharga dari masyarakat Sumatera Barat bagi masyarakat dunia dalam rangka mengatasi pemanasan global.