Minggu, 29 Mei 2016

POLEMIK DANA DESA DAN EKSISTENSI NAGARI
Ferdinal Asmin
(Kandidat Doktor PSL-IPB dan Awardee LPDP)

Penentuan jumlah dana desa menurut jumlah desa telah menimbulkan ketidakadilan bagi provinsi dan kabupaten yang sedikit jumlah desanya namun jumlah penduduknya banyak dan wilayah administrasinya cukup luas, seperti yang dirasakan masyarakat Sumatera Barat. Memang pantas, sebagian besar pemerintah daerah dan masyarakat di Sumatera Barat kemudian berpikir untuk memekarkan nagari. Hal ini dilakukan dengan harapan bahwa jumlah dana desa yang didapatkan masyarakat Sumatera Barat akan menjadi lebih besar.
Akan tetapi, pemekaran nagari juga memiliki resiko yang tak kalah pentingnya. Jika kita hanya melihat nagari sebagai wilayah administratif semata, maka resikonya mungkin dianggap sedikit. Jika kita menilai nagari juga sebagai entitas sosial ekonomi masyarakat Sumatera Barat selain dari entitas teritorial administratif, maka resiko akan semakin besar. Resikonya dapat berupa sosial, ekonomi, dan ekologi yang menyebabkan kehilangan identitas masyarakat dengan norma dan nilai “ke-Minangkabau-an” yang sedang diperkuat. Kita perlu kembali mengingat ketika nagari dan jorong dijadikan desa pada tahun 1970-an dan bagaimana dampaknya pada degradasi norma dan nilai “ke-Minangkabau-an”. Setelah reformasi, kita kembali mencoba “mambangkik batang tarandam” dengan “baliak ba nagari”. Namun saat ini, konsentrasi kita kembali “diganggu” dengan polemik dana desa.
Kita perlu melihat secara utuh “postur” dana desa dan kontribusinya bagi pembangunan nagari dan masyarakat. Adaptasi kita harus mempertimbangkan kemampuan kita dalam transformabilitas, pembelajaran, dan inovasi. Setiap kebijakan pemerintah perlu disikapi dengan mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan yang kita miliki.
Kontribusinya Masih Kecil
Bagaimana “postur” dana desa yang sesungguhnya? Bila kita mempedomani jumlah dana transfer pusat ke daerah di seluruh Indonesia yang dirilis Kementerian Keuangan tahun 2015, persentase dana desa hanya sekitar 3 persen. Jika rencana menaikkan dana desa sebesar 2 kali lipat pada tahun 2016 ini, maka persentasenya mungkin masih kurang 10 persen. Diantara berbagai jenis transfer ke daerah, dana desa terbilang yang paling kecil.  Tentu bisa kita membayangkan bagaimana “postur” dana desa itu sendiri. Khusus untuk Sumatera Barat, besar dana alokasi khusus (DAK) ternyata hampir 5 kali lipat dari dana desa yang diterima pada tahun 2015. Artinya, masih ada sumber dana lain yang berpotensi untuk pembangunan nagari dan masyarakat.
“Postur” dana desa menjadi menarik, salah satunya adalah besarnya kewenangan desa dalam merencanakan, mengorganisir, melaksanakan, dan mengendalikannya. Ada semacam ‘euforia” masyarakat dalam melihat dana desa setelah begitu lama mereka “terkungkung” dengan kerumitan birokrasi pendanaan dari pemerintah. Dengan demikian, besar kemungkinan bagi masyarakat untuk mengutamakan kebutuhan di desanya. Tapi, penggunaan dana desa diatur sedemikian rupa, yang juga berpotensi belum sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan (felt needs) masyarakat. Dalam berbagai kesempatan, Presiden Jokowi selalu menginstruksikan agar dana desa dipergunakan untuk infrastruktur. Bila pengecoran jalan menjadi kebutuhan, dana desa sekitar 700-800 juta mungkin baru mampu untuk jalan sepanjang 0,5 – 1 km. Sekali lagi, dana desa memiliki “postur” yang terbatas dan dana pembangunan nagari dan masyarakat seharusnya bukan hanya mengandalkan dana desa tetapi perlu mengupayakan sumber-sumber lain, termasuk swadaya masyarakat.
Apa yang Seharusnya?
Pemekaran nagari untuk memperbesar peluang menarik dana desa ke Sumatera Barat sepertinya menjadi kurang relevan. Ide pemekaran nagari sebenarnya menjadi pilihan yang harus “dikuliti” resikonya bagi eksistensi nagari sebagai entitas sosial ekonomi masyarakat dan entitas teritorial berbasis genealogis. Perlu disadari bahwa Sumatera Barat memiliki banyak kawasan perlindungan dan pelestarian, yang disatu sisi selalu dianggap sebagai kekurangan, tapi dapat diangkat sebagai kelebihan dalam negosiasi dengan pemerintah pusat. Norma dan nilai “ke-Minangkabau-an” yang dianggap menjadi nostalgia masa lalu perlu dibangkitkan dengan “sisa-sisa memori” yang disesuaikan dengan kondisi kekinian sehingga kita tidak dianggap sedang beromantisme. Di tengah “ketergerusan” norma dan nilai, kita masih banyak menyisakan “memori” pengetahuan lokal yang melekat kuat dalam sebagian besar masyarakat Sumatera Barat. Untuk itu, ada 3 hal yang seharusnya perlu didorong.
Pertama adalah mendorong perbaikan kriteria pengalokasian dana desa. Berdasarkan penilaian terhadap data jumlah penduduk, luasan, jumlah pulau, dan tingkat kemiskinan menurut provinsi, metoda pengalokasian dalam Pasal 11 PP No. 60 tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan PP No. 22 tahun 2015 belum sensitif terhadap hal-hal tersebut. Sekitar 30-50 % alokasi dana desa belum mencerminkan pertimbangan proporsi penduduk, luasan, pulau, dan kemiskinan antar provinsi. Bahkan, alokasi dana desa tahun 2015 berpotensi mempertajam ketimpangan wilayah Barat dan Timur karena sekitar 60 % dana desa masih berada di Pulau Jawa dan Sumatera. Kasus di Sumatera Barat dapat menjadi pioneer untuk membangun solidaritas berbagai provinsi menyuarakan perbaikan kriteria ke pusat. Jika hal ini dapat dilakukan, maka kita tentunya dapat memaklumi pengalokasian yang adil dengan filosofi “urang mandapek awak ndak kahilangan”.
Kedua adalah, jika kriteria pengalokasian belum terakomodir, kita mendorong pengalokasian dana desa menurut jorong, bukan nagari. Tapi ini sebuah perjuangan yang bisa dianggap sulit. Sulit karena kita perlu mengupayakan “keistimewaan” dari pusat dengan berargumentasi kekhasan wilayah masyarakat Minangkabau sehingga perlu bantuan dari anggota DPD dan DPR yang mewakili Sumatera Barat, disamping peran pemerintah daerah dan tokoh-tokoh masyarakat. Tapi hal ini bisa realistis sepanjang komitmen pada pembangunan nagari dan masyarakat merupakan sebuah kebijakan yang terus menerus diperjuangkan. Kita perlu senantiasa meyakini hal tersebut.
Ketiga adalah, jika yang pertama dan kedua masih belum memungkinkan, kita perlu mempertimbangkan alokasi dana desa yang didapatkan sebagai media penguatan solidaritas masyarakat dalam mempertahankan norma dan nilai “ke-Minangkabau-an” dan membangun “ke-agensi-an” masyarakat dalam prinsip self-help, felt needs, dan partisipasi. Pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota bersama masyarakat perlu membangun komitmen bahwa penggunaan dana desa bukan hanya memperbaiki hasil tapi lebih untuk memperbaiki proses-proses yang memperkuat eksistensi nagari di masa yang akan datang. Kita harus menyakini bahwa leadership di tingkat lokal, kota, kabupaten, dan provinsi mampu menjamin implementasi ini.
Kesimpulan yang dapat dirangkum adalah pemekaran nagari memang bisa menjadi pilihan ketika kita menilai dana desa hanyalah satu-satunya cara meningkatkan pembangunan nagari dan masyarakat di tengah ketidakmungkinan politik dan hukum. Padahal, banyak sumber dana lain yang dapat dioptimalkan untuk pembangunan nagari dan masyarakat. Poin bagi nagari adalah pentingnya kita membangun solidaritas dan “ke-agensi-an” untuk menyikapi kebijakan pemerintah. Kita harus meyakini bahwa, dengan norma dan nilai “ke-Minangkabau-an”, kita dapat mewujudkan nagari yang sejahtera dan berkelanjutan.

Catatan: Tulisan ini dipublikasikan pada Koran Harian Padang Ekspress Tanggal 7 April 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar