Jumat, 28 November 2014

TANYA JAWAB TERKAIT PENDIDIKAN DOKTOR DAN METODOLOGI PENELITIAN DAN TEKNIK PENULISAN DISERTASI


1.    Pertanyaan:
Unsur esensial pendidikan doktor adalah bahwa pendidikan doktor memiliki tiga karakteristik utama. Jelaskan.
Jawaban:
LaPidus (1989) dalam BAN-PT (2009:4-8) menyebutkan 3 karakteristik utama pendidikan doktor yaitu pendidikan lanjut (advanced), terfokus, dan kesuja-naan (scholarly).  Penjelasan dari 3 karakteristik tersebut adalah sebagai beri-kut:
a.    Atribut lanjut
Pendidikan doktor (S-3) dilandasi oleh pendidikan sarjana (S-1) dan magis-ter (S-2) serta dicirikan dengan penguasaan subjek yang ditekuni lebih men-dalam.  Pendidikan doktor mempersyaratkan prestasi S-1 dan S-2 yang ber-predikat baik (dilihat dari IPK) dan kemampuan pada saat ujian kualifikasi doktor, ujian komprehensif, dan disertasi yang menunjukkan promovendus telah mampu sebagai pemimpin keilmuan/teknologi dan mampu mengem-bangkan ilmu dan teknologi di bidangnya, serta mampu beradaptasi pada lingkungan kerja di bidangnya yang bersifat aplikatif.  Oleh karena itu, pen-didikan doktor harus memiliki mutu lanjut, yang dicirikan oleh gelar lanjut (advanced degree), pakar dalam suatu bidang ilmu pengetahuan, dan aktif baik dalam kegiatan kepakaran atau kegiatan ilmiah maupun sebagai kontri-butor penelaah sejawat (peer review contributor) dalam bidangnya.
b.    Atribut terfokus
Pendidikan doktor harus terfokus pada pada suatu kumpulan pengetahuan yang berdiri sendiri (a discrete body of knowledge) yang diajarkan oleh do-sen yang diakui sebagai pakar dalam berbagai bidang atau ilmu penge-tahuan.  Pengembangan keahlian spesialis bagi seorang calon doktor setelah menunjukkan pemahaman yang menyeluruh dan luas dari bidang atau ilmu yang ditekuni. Pendidikan doktor lebih memfokuskan pada pendalaman da-lam suatu program studi yang terintegrasi (integrated program of study) dari pada keluasan yang meliputi berbagai bidang ilmu pengetahuan yang tidak terkait.
c.    Atribut kesujanaan
Pendidikan doktor didasarkan kepada landasan ilmu pengetahuan yang ber-kembang, yang dicapai, dan disetujui oleh mereka yang bergerak dalam bi-dang tersebut dan terbuka untuk diuji dan validasi melalui prosedur yang secara umum disepakati.  Program doktor lebih mengedepankan keterlibatan nyata dalam proses bagaimana ilmu pengetahuan itu ditemukan melalui pe-nelitian yang menjadi ciri utama (hallmark) pendidikan doktor.  Pendidikan doktor mengelaborasi pengalaman kesujanaan yang integratif seperti ujian komprehensif, pemaparan karya inovatif, atau penyajian disertasi.  Inti dari program doktor adalah pengalaman bekerja untuk menjadi penemu (disco-verer) dan kontributor ilmu pengetahuan (Gullahorn et al.1998 dalam BANPT 2009:8).

2.    Pertanyaan:
Dalam sebuah disertasi, ada bagian “Latar Belakang”, “Perumusan Masalah” dan ada bagian “Kerangka Pikir”. Jelaskan secara singkat, secara teoritis apa yang seharusnya dituliskan pada masing-masing bagian itu. Bagaimana keter-kaitan diantara ketiganya.
Jawaban:
Meskipun ditulis dalam bagian-bagian yang berbeda, “Latar Belakang”, “Peru-musan Masalah”, dan “Kerangka Pikir” merupakan bagian-bagian yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya.  Ketiga bagian ini merupakan bagian yang penting dari Bab Pendahuluan dalam suatu disertasi.
Bagian “Latar Belakang” disusun untuk menjawab pertanyaan kenapa penting-nya penelitian tersebut dilakukan dengan didukung oleh fakta-fakta dan teori-teori yang relevan.  Bagian ini menunjukkan daya tarik dari fokus/topik pene-litian yang dilakukan.  Brause (1999:102) menyatakan topik menarik  muncul dari pemahaman komprehensif penulis terhadap bidang ilmunya, menangani isu-isu yang sangat penting di bidangnya, dapat dilaksanakan, dan sangat ber-manfaat.
Bagian “Perumusan Masalah” disusun dalam bentuk pernyataan-pernyataan masalah penelitian terkait dengan fokus/topik yang telah dijelaskan pada ba-gian “Latar Belakang”.  Brause (1999:102) menyarankan pernyataan masalah penelitian tersebut mencakup: (1) pembahasan singkat terhadap masalah, (2) dirangkai dalam pemikiran teoritis yang terpadu (cohesive), dan (3) pernyataan pentingnya masalah tersebut dalam penelitian yang dilakukan.  Bagian ini bia-sanya diakhiri dengan beberapa pertanyaan penelitian (research questions), na-mun Swetnam (2004:82) menyarankan masalah atau pertanyaan penelitian ter-sebut harus didukung oleh beberapa referensi.  Pertanyaan penelitian juga sa-ling berkaitan, sehingga bagian ini akan lebih mudah dipahami dengan bagan alir.
Bagian “Kerangka Pikir” menjelaskan aspek-aspek penting yang perlu diper-timbangkan dan saling berkaitan satu dengan yang lainnya.  Bagian ini meng-gambarkan bagaimana suatu penelitian dilakukan dan dirumuskan dari konsep-si masalah (seperti yang telah dinyatakan dalam bagian “Perumusan Masalah”) sampai penyajian hasil (Meloy 2002:39).  Penyusunan kerangka pikir dapat di-dekati dengan mengembangkan pemikiran kritis, tinjauan literatur, dan konsul-tasi dengan komisi pembimbing (Lyons dan Doueck 2010:17).  Bagian ini di-lengkapi dengan bagan yang menggambarkan kerangka pikir tersebut.

3.    Pertanyaan:
Jelaskan keterkaitan antara Perumusan Masalah dan Tujuan Penelitian
Jawaban:
Lyons dan Doueck (2010:9) menyatakan bahwa menyelesaikan disertasi mem-butuhkan kedisiplinan, ketelitian, dan tujuan.  Dalam penelitian disertasi, se-orang mahasiswa doktor harus mengarahkan kompetensi yang dimilikinya un-tuk mencapai tujuan penelitian yang telah ditetapkannya (be goal-directed).  Penelitian disertasi dapat dianggap sebagai sebuah sistem penunjang keputusan yang melibatkan proses-proses untuk mencapai tujuan.  Oleh karena itu, Lyons dan Doueck (2010:10) menilai pengambilan keputusan dalam penelitian diser-tasi diawali dengan identifikasi atau perumusan masalah yang berguna untuk merumuskan tujuan yang tepat dalam menangani masalah tersebut.  Tujuan tidak dapat dirumuskan dengan tepat apabila perumusan masalah tidak dilaku-kan dengan baik, bahkan menyebabkan mahasiswa doktor melakukan kesalah-an tipe ketiga, yaitu menjawab masalah yang bukan masalah.  Perumusan ma-salah dan tujuan penelitian merupakan bagian yang saling berkaitan (inter-twined) sehingga pertanyaan penelitian yang menjadi inti dari perumusan ma-salah merupakan pernyataan yang akan dirumuskan dalam tujuan penelitian.


Daftar Pustaka
[BAN-PT] Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi.  2009.  Naskah Akademik Akreditasi Program Doktor.  Jakarta.  BAN-PT.
Brause RS.  1999.  Writing Your Dissertation: Invisible Rules for Success.  Fordham.  Routledge.
Lyons P dan Doueck HJ.  The Dissertation: From Beginning to End.  Oxford.  Oxford University Press, Inc.
Meloy JM.  2002.  Writing the Qualitative Dissertation: Understanding by Doing (Second Edition).  London.  Lawrence Erlbaum Associates. 
Swetnam D.  2004.  Writing Your Dissertation: How to Plan, Prepare and Present Successful Work (3rd edition).  Oxford.  How to Content.

REKAM JEJAK KONFERENSI TINGKAT TINGGI (KTT) TENTANG PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

“Orang bijak selalu tidak akan pernah lupa dengan sejarah”

Anda yang sedang menempuh pendidikan pascasarjana dalam bidang kajian lingkungan selalu dituntut untuk dapat menjelaskan perkembangan konsep pembangunan dan lingkungan yang dibungkus dalam paradigma pembangunan berkelanjutan.  Tulisan ini berusaha membantu anda untuk mengetahui perkembangannya, yang disarikan dari beberapa tulisan yang mengupas tentang hasil-hasil KTT tentang lingkungan yang telah berlangsung sejak 1972 sampai sekarang.  Informasi dalam penelitian ini dapat mengalami perkembangan sehingga anda juga dituntut untuk dapat mengkritisi tulisan ini.  Semoga tulisan ini bermanfaat.


UNCHE - KTT STOCKHOLM 1972
UNCHE (United Nations Conference on the Human Environment) dilaksanakan pada tanggal 5-16 Juni 1972 di Stockholm Swedia.  KTT ini merupakan pertemuan pertama kali yang berupaya mendorong paradigma pembangunan berkelanjutan dengan menghadirkan pemimpin-pemimpin dunia dan pakar-pakar lingkungan.  Fokus pertemuan adalah evolusi bagi konsep perlindungan lingkungan hidup manusia sebagai elemen krusial dalam agenda pembangunan.  Pada pertemuan ini sebenarnya sudah digali konsep keberlanjutan yang menyatakan hubungan antara pembangunan ekonomi, kualitas lingkungan, dan keadilan sosial, meskipun belum memberikan rumusan bagi pembangunan berkelanjutan itu sendiri.   Hasil-hasil pertemuan UNCHE dikenal sebagai Stockholm Declaration, yang merumuskan 2 norma yaitu (1) prinsip 21 yang berkaitan dengan kerusakan lingkungan lintas batas internasional dan (2) prinsip 24 yang berkaitan dengan kewajiban bekerjasama.  Hasil monumental dari pertemuan ini adalah dibentuknya United Nations Environment Programme (UNEP) pada tahun 1975 yang dimaksudkan untuk mendorong kerjasama lingkungan internasional.  Di tingkat nasional, negara-negara mulai merancang atau memperbaiki kelembagaan lingkungannya, baik organisasi lingkungan maupun peraturan perundang-undangan yang menyangkut lingkungan (disarikan dari Rogers et al. 2008).
Indonesia yang menghadiri konferensi tersebut mengambil langkah-langkah seperti mengeluarkan Keputusan Presiden  Nomor 16 Tahun 1972 untuk  membentuk panitia antar departemen yang disebut dengan Panitia Perumus dan Rencana Kerja Bagi Pemerintah di Bidang Lingkungan Hidup guna merumuskan dan mengembangkan rencana kerja di bidang lingkungan hidup.  Hasil kerja panitia, menurut Silalahi (2003), dianut pertama kali dalam GBHN Indonesia tahun 1973 dengan nama pembangunan berwawasan lingkungan.  Tiga tahun kemudian, Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden  Nomor 27 Tahun 1975. Keputusan Presiden ini merupakan dasar pembentukan Panitia Inventarisasi dan Evaluasi Kekayaan Alam dengan tugas pokoknya adalah menelaah secara nasional pola-pola permintaan dan persediaan serta perkembangan teknologi, baik di masa kini maupun di masa mendatang serta implikasi sosial, ekonomi, ekologi dan politis dari pola-pola tersebut (Kementerian Lingkungan Hidup, 2011).

UNCHE – KTT NAIROBI 1982
Pada tahun 1982, pertemuan kedua dilakukan di Nairobi Kenya dengan tetap menggunakan nama UNCHE.  Pertemuan ini menghasilkan Deklarasi Nairobi yang pada intinya menegaskan bahwa prinsip-prinsip dalam Deklarasi Stockholm masih sangat urgen untuk diimplementasikan, meskipun implementasinya dinilai masih belum sepenuhnya.  Deklarasi Nairobi mendorong semua negara untuk mengemban tanggung jawab, baik secara bersama atau individu, guna menjamin bahwa bumi yang kecil ini diwariskan kepada generasi mendatang dalam kondisi yang menjamin kehidupan dan martabat manusia (Galizzi 2005:969).
Berdasarkan Resolusi Sidang Umum PBB yang dilaksanakan pada tahun 1983, pada tahun 1984 dibentuklah World Commission on Environment and Development (WCED) yang diketuai oleh Perdana Menteri Norwegia saat itu, Gro Harlem Brundtland, sehingga kemudian dikenal dengan nama Komisi Brundtland.  Mandat yang diemban oleh komisi ini adalah mengkaji isu-isu kritis dari pembangunan dan lingkungan serta merumuskan proposal realistik berkaitan dengan hal tersebut, mengajukan bentuk kerjasama baru terhadap isu tersebut untuk mempengaruhi perubahan kebijakan, dan meningkatkan pemahaman dan komitmen aksi individu, organisasi, usaha, dan pemerintah.  Komisi ini menghasilkan laporan pada tahun 1987 yang berjudul “Our Common Future” yang memperkenalkan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang menekankan pada kebutuhan pendekatan pembangunan secara terpadu dalam konteks kebijakan lingkungan (Rogers et al. 2008:158).
International Union for the Conservation of Natural Resources (IUCN) meluncurkan World Conservation Strategy (WCS) pada tahun 1980, yang memberikan konsep awal pembangunan berkelanjutan.  Strategi ini menegaskan bahwa konservasi alam tidak dapat dicapai tanpa pembangunan untuk mengurangi kemiskinan dan kesengsaraan jutaan manusia dan menekankan saling ketergantungan antara konservasi dan pembangunan.  Dalam Sidang Umum PBB tahun 1982, inisiatif WCS mencapai puncaknya dengan menyetujui World Charter for Nature.  Piagam ini menyatakan bahwa manusia merupakan bagian dari alam dan kehidupannya tergantung pada fungsi sistem alam yang tidak terganggu.
Tepat juga 10 tahun setelah Konferensi Stockholm, Indonesia juga  mengeluarkan undang-undang lingkungan hidup pertama, yaitu Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.  Dalam undang-undang ini, diatur Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), yang merupakan studi mengenai dampak sesuatu kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan.  Kelembagaan lingkungan hidup di tingkat pusat juga mengalami perubahan dari sebelumnya disebut dengan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup menjadi Menteri Negara Lingkungan Hidup.  Sementara itu sektor kehutanan sebelumnya menjadi bagian dari Departemen Pertanian, dipisahkan menjadi departemen tersendiri dengan nama Departemen Kehutanan pada tahun 1983.  Kedua departemen tersebut yang kemudian menjadi lokomotif internalisasi konsep-konsep yang dikembangkan IUCN di Indonesia.

UNCED – KTT RIO DE JENEIRO 1992
United Nations Conference of Environment and Development (UNCED) dilaksanakan pada tanggal 3 -14 Juni 1992 di Rio De Jeneiro, Brasil yang juga dikenal sebagai KTT Bumi.  Karya Komisi Brundtland menginspirasi KTT ini sehingga fokus lingkungan meluas pada isu-isu kemiskinan dan penduduk.  Pada KTT ini juga terjadi evolusi yang luar biasa terhadap konsep pembangunan berkelanjutan. 
KTT Bumi menghasilkan 5 dokumen penting yang menjadi agenda internasional untuk pembangunan berkelanjutan memasuki abad 21 yang akan datang.  Dokumen itu (Galizzi 2005:972) adalah sebagai berikut: (1) Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan, yang merupakan dokumen yang tidak mengikat secara hukum; (2) Agenda 21, yang merupakan rencana ambisius dalam cara dan aksi konkrit mendorong pembangunan berkelanjutan; (3) membuat United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang mengikat secara hukum berkaitan dengan pemanasan global; (4) membuat Convention on Biological Diversity (CBD), yang merupakan ketentuan yang mengikat secara hukum berkaitan dengan keanekaragaman hayati; dan (5) Pernyataan Prinsip-Prinsip bagi Konsensus Global tentang Manajemen, Konservasi, dan Pembangunan Berkelanjutan dari semua jenis hutan yang lebih dikenal dengan Rio Forest Principles, yang juga merupakan dokumen yang tidak mengikat secara hukum.
Deklarasi Rio terdiri atas satu pembukaan dan 27 prinsip yang dianggap sebagai hukum internasional dalam pembangunan berkelanjutan, yang dinilai merupakan konsep yang lebih khusus dan lebih tepat dibandingkan dengan prinsip-prinsip yang ada dalam Deklarasi Stockholm.  Deklarasi Rio mengandung prinsip-prinsip yang dapat dikategorikan dalam 4 kelompok, yaitu hukum, kebijakan, ekonomi, dan kebijakan publik (Rogers et al. 2008).
Agenda 21 merupakan konsep program aksi yang mengatur aktivitas-aktivitas manusia yang memiliki dampak lingkungan.  Meskipun agenda 21 tidak mengikat secara hukum, namun ia merepresentasikan komitmen politik.  Agenda 21 terdiri atas 40 bab dan 4 bagian utama, yaitu (1) dimensi sosial ekonomi, (2) konservasi dan manajemen sumber daya untuk pembangunan, (3) memperkuat peran kelompok utama, dan (4) cara implementasi.  Isu lingkungan utama dalam agenda 21 (Galizzi 2005:975) yaitu perlindungan atmosfir, pendekatan terpadi perencanaan dan pengelolaan sumber daya lahan, mengendalikan deforestasi, mengelola ekosistem rentan terhadap penggurunan dan kekeringan, mendorong pembangunan pedesaan dan pertanian berkelanjutan, konservasi biodiversitas, manajemen bioteknologi yang ramah lingkungan, perlindungan ekosistem laut dan pesisir, perlindungan kualitas dan suplai sumber daya air tawar, dan manajemen bahan kimia beracun dan limbah berbahaya.
KTT Bumi ini dianggap merupakan sebuah konferensi yang banyak menghasilkan keberhasilan terutama yang berkaitan dengan UNFCCC dan CBD, yang diterima sebagai ketentuan yang mengikat.  UNFCCC dimaksudkan untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang akan mencegah gangguan antropogenik yang membahayakan sistem iklim, yang kemudian mendorong dilaksanakan Conference of Parties (COP) tentang perubahan iklim.  Perdebatan sampai isu-isu tentang pemanasan global dan perubahan iklim menjadi lebih intensif dibicarakan sejak diluncurkannya Protokol Montreal pada tahun 1992 dan Protokol Kyoto pada tahun 1997, yang juga diratifikasi oleh Indonesia.  Pada Protokol Kyoto tersebut, diinisiasi 2 program penting, yaitu Clean Development Mechanism (CDM) dan Reducing Emission from Deforestation dan Forest Degradation (REDD), khusus untuk REDD ini mengalami perdebatan panjang sampai tahun 2009.  Sedangkan CBD tidak hanya berbicara konservasi sumber daya hayati, tetapi juga respek terhadap pengetahuan tradisional masyarakat lokal dalam pelestarian biodiversitas dan pemanfaatan secara lestari.
Pertemuan lingkungan yang dilaksanakan pada tahun 2000, dibawah kendali Sidang Umum PBB, yang juga sering disebut dengan Millennium Summit.  Dalam pertemuan tersebut, delegasi PBB mendorong tujuan dan target pembangunan internasional yang dikenal dengan Millennium Development Goals (MDGs).  MDGs berisikan 8 target, yaitu: (1) mengentaskan kemiskinan dan kelaparan, (2) meningkatkan pendidikan, (3) mendorong persamaan gender dan pemberdayaan wanita, (4) mengurangi kematian anak, (5) memperbaiki kesehatan ibu, (6) mengentaskan HIV/Aids, malaria, dan penyakit lainnya, (7) menjamin kelestarian lingkungan, dan (8) mengembangan kerjasama global dalam pembangunan (disarikan dari Rogers et al. 2008)
Keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya membuat Indonesia selangkah lebih maju dalam CBD.  Dalam konteks kebijakan, Indonesia juga menyusun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (menggantikan Undang-Undang No. 4 Tahun 1982).

WSSD – KTT JOHANNESBURG 2002
World Summit on Sustainable Development (WSSD) dilaksanakan pada tanggal 26 Agustus sampai 4 September 2002 di Johannesburg Afrika Selatan.  Dari pembahasan pada konferensi sebelumnya, beberapa faktor muncul sebagai prasyarat untuk mencapai pembangunan berkelanjutan : pengentasan kemiskinan, perencanaan pertumbuhan populasi, pengendalian pencemaran, perbaikan kebijakan dan pasar, tata kelola yang baik, dan pengelolaan bencana.  Tapi mencapai tujuan ini tidaklah gampang.  Delegasi dari 191 negara termasuk 109 kepala negara, menghadiri WSSD di Johannesburg yang diadakan oleh PBB.  Jumlah peserta mencapai 21.000, bahkan lebih banyak lagi karena banyak yang tidak tercatat.  Diperkirakan peserta mencapai 60.000.  Sumber-sumber kompeten di WSSD mengklaim bahwa konferensi ini adalah yang terbanyak pesertanya sepanjang sejarah PBB.  Berikut ini kita sarikan dari Rogers et al. (2008) yang dengan lengkap membahas tentang WSSD.
Agenda WSSD membahas tentang kesehatan, biodiversitas, ekosistem, pertanian, air dan sanitasi, dan energi serta isu-isu yang mempengaruhinya seperti finansial, perdagangan, transfer teknologi, informasi, pendidikan, pola konsumsi, dan peningkatan kapasitas.  Selain agenda resmi, juga ada banyak kegiatan seperti seminar, eksibisi, pertemuan, dan diskusi panel yang dihadiri oleh LSM, pemerintah, dan lembaga PBB.  Masalah-masalah yang dibahas meliputi air dan sanitasi, tata kelola yang baik, bisnis, aksi pemerintah daerah, perdagangan dan pembangunan, kesempatan kerja, kemitraan, dan kerjasama Selatan-Selatan (antar negara berkembang). 
Ada kesepakatan tentang perlunya sektor swasta mengembangkan transparansi dan keteraturan lingkungan sebagai tanggung jawab usaha.  Hal ini menjadi isu yang sangat prioritas bagi pembuat kebijakan di Amerika Serikat.  Juga ada fokus pada perlunya monitoring implementasi Agenda 21 Konferensi Rio; MDG's yang disetujui Sidang Umum PBB dan Komitmen Johannesburg tentang Pembangunan Berkelanjutan.  Kepala Pemerintahan pada saat WSSD menyatakan pentingnya monitoring implementasi tersebut sebagai agenda utama konferensi 5 tahun mendatang.
Salah satu hasil yang sangat penting adalah realisasi pembangunan berkelanjutan bukan hanya berhasil dalam skala global tetapi juga sangat berhasil jika diimplementasikan wilayah per wilayah.  Masing-masing wilayah memiliki perspektif sendiri terhadap rekomendasi WSSD dan itu menjadi kekuatan bagi mereka untuk memantau implementasi sesuai keinginan mereka.  Kenyataannya, pada beberapa wilayah keberhasilan lebih terasa pada skala lokal dan nasional (Smith dan Jalal, 2000).
Dua hasil utama dari konferensi yaitu deklarasi politik, yang kemudian diadopsi oleh semua negara yang hadir; dan Komitmen Johannesburg tentang Pembangunan Berkelanjutan, sebuah dokumen teknis yang berisi sejumlah rekomendasi yang disetujui untuk diimplementasikan oleh negara yang hadir.
·      Deklarasi Politik
Deklarasi politik memperkuat komitmen pembangunan berkelanjutan dan tidak boleh ada yang melarang suatu bangsa memanfaatkan hasil pembangunan.  Bagi negara yang ingin mengembangkan pembangkit tenaga batubara akan tetapi mereka tidak punya cara mitigasi lingkungan atau teknologi lingkungan, maka komunitas donor internasional mendirikan Global Environment Facility (GEF).
Deklarasi politik juga menyebutkan bahwa kemiskinan merupakan tantangan paling berat dalam mendorong pembangunan berkelanjutan, untuk itu diperlukan keadilan sosial ekonomi di dalam dan antar bangsa di dunia.  Deklarasi juga menyatakan perlunya membahas isu-isu tata kelola.
Mungkin deklarasi ini terdengar seperti retorika politik belaka, namun paling tidak ada komitmen dari negara-negara untuk melaksanakannya.  Pemimpin dunia yang hadir juga setuju bahwa demokrasi, aturan hukum, kebebasan dan HAM, serta perdamaian dan keamanan sangat penting bagi pembangunan berkelanjutan.  Mereka setuju untuk memberantas terorisme, kejahatan terorganisir, dan korupsi.  Selain itu juga menyetujui hal-hal yang berkaitan dengan kepemimpinan politik, ketahanan pangan, ketersediaan air, sanitasi, dan kesehatan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia dan pembangunan berkelanjutan.  Pemerintahan yang hadir juga berkomitmen untuk mengurangi kerusakan akibat bencana alam dengan memperkuat kerjasama internasional dan mengembangkan teknologi seperti sistem deteksi dini.
·      Komitmen Johannesburg tentang Pembangunan Berkelanjutan
Hasil kedua adalah rencana implementasi.  Empat kali pertemuan dilaksanakan dalam jangka waktu 3 bulan untuk mempersiapkan dokumen yang diharapkan akan dapat diterima oleh negara yang hadir.  Mereka yang membuat dokumen tersebut seringkali tidak menyetujui secara penuh klausal yang dipakai, salah satunya karena bahasa.  Dari 615 sub bab dalam laporan tersebut, 156 diantaranya diperdebatkan, yang menunjukkan sejumlah delegasi mempermasalahkan beberapa bab dalam dokumen tersebut.
Ketika kesepakatan dicapai dari 191 negara yang hadir karena menilai 75 % isinya cukup relevan, tapi masyarakat dunia masih tidak setuju dengan isu globalisasi dimana 93 % paragraf yang membahas topik tersebut tidak disetujui.  Negara maju bersikukuh dengan manfaat globalisasi sedangkan negara berkembang melihatnya sebagai sebuah upaya eksploitasi sumber daya, menghancurkan warisan budaya leluhur, dan memperburuk masalah lingkungan (seperti ekspor polusi).
Ketika membahas implementasi, semuanya setuju paragraf yang membahas pengentasan kemiskinan, penyediaan air, promosi sanitasi, perlindungan kesehatan manusia, pengembangan energi berkelanjutan, dan sebagainya.  Kendalanya hanyalah masalah uang : mayoritas delegasi (89%) tidak setuju dengan cara pendanaan mega proyek : juga 85 % tidak setuju dengan isu-isu pengenaan tarif, trade barrier dan subsidi pertanian.  Dokumen akhirnya disetujui walaupun gagal secara menyeluruh membahas isu-isu penting seperti globalisasi, finansial, dan perdagangan.
Hasil Positif Konferensi
Konferensi Johannesburg dianggap berhasil karena beberapa alasan :
1.    Pengembangan Konsep
Pada tahun 1992, konferensi fokus pada lingkungan dan pembangunan, tapi Konferensi Johannesburg merupakan pertemuan pertama yang membahas implementasi lingkungan dan pembangunan yang memperkenalkan bahwa pengelolaan lingkungan bukan tentang mengelola lingkungan tapi tentang mengelola aktifitas lingkungan sesuai dengan kapasitas lingkungan.  Jadi konsep pembangunan berkelanjutan ditekankan dalam perspektif pemerintahan dan sejenisnya.
2.    Memperbaiki tata kelola
Pertemuan Johannesburg juga mengenal pembangunan berkelanjutan sebagai kerangka tata kelola global, sebuah topik yang kemudian akan dibahas pada sidang umum PBB.
3.    Perbaikan Kemauan Politik Pemerintah
Untuk pertemuan Johannesburg, PBB mencoba membuat lembaga baru yang dikenal dengan WEO.  Ide tersebut batal karena pemerintah yang hadir menyebutkan bahwa penambahan birokrasi bukan menjadi keinginan mereka, tapi yang diperlukan adalah memperbaiki koordinasi antar organisasi yang ada dan kemauan politik pemerintah.
4.    Penentuan target komitmen teknis dan finansial
Terakhir, WSSD memberikan kesempatan untuk menentukan target bagi komitmen teknis dan finansial.  Dua jenis kesepakatan yang dicapai :
·      Tipe 1 - Kesepakatan antara pemerintahan; dan
·      Tipe 2 - Kesepakatan antara LSM dan sektor swasta atau  antara Pemerintah dan LSM dengan swasta
Pertama kali dalam sejarah pertemuan yang diadakan oleh PBB, kesepakatan Tipe 2 dibahas dan dipertimbangkan secara lebih mendalam.  Contohnya, beberapa perusahaan kayu bertemu dengan perusahaan asuransi pada sesi topik swasta di Johannnesburg untuk membahas sustainable logging.  Investor mengatakan bahwa perusahaan kayu diperkenankan menebang tapi harus sesuai dengan kondisi lingkungan seperti mencapai hasil lestari dan menggunakan ecolabelling terhadap produk kayunya.  Biasanya hal-hal seperti itu tidak dapat dibahas pada kesempatan pertemuan resmi.  WSSD membuka kesempatan pemerintah, perusahaan kayu, dan investor untuk dikritik oleh LSM dan media, oleh sebab itu kesepakatan ini dianggap sebagai inovasi.
Dengan banyaknya komitmen finansial yang dibuat, kesepakatan tersebut dinilai baru dan sebagai sumber daya tambahan serta dapat bermanfaat bagi negara berkembang dan bagi negara yang menyediakannya.  Delegasi Amerika Serikat aktif dalam masalah finansial ini ketika Menteri Sekretaris Negara Colin L. Powell memimpin delegasi dan menyampaikan paper berjudul "Making Sustainable Development Work"
Pemerintah Amerika Serikat membuat berbagai inisiatif pembangunan berkelanjutan yang dilakukan oleh berbagai lembaga ditingkat lokal.  Sebagai contoh, Proyek Harvard untuk daur ulang limbah mampu menangani 4.267 ton limbah daur ulang selama tahun anggaran 2002.  Hasil ini mampu mencegah pelepasan 2.336 meter kubik CO2 ke atmosfir atau setara dengan mengurangi 1.785 mobil penumpang di jalanan.  Banyak cerita keberhasilan di tingkat lokal, yang mungkin kurang berhasil diterapkan di tingkat nasional (Smith dan Jalal, 2000).

UNCSD – KTT RIO DE JENEIRO 2012
Pertemuan ini diberi nama United Nations Conference on Sustainable Developmnent (UNCSD) yang dilaksanakan kembali di Rio de Jeneiro Brasil.  KTT ini juga disebut dengan KTT Rio+20.  Berdasarkan website resmi Kementerian Lingkungan Hidup (baca pada http://www.menlh.go.id/konferensi-pbb-untuk-pembangunan-berkelanjutan-rio20-masa-depan-yang-kita-inginkan/), disampaikan hasil-hasil dari KTT Rio+20, seperti tulisan berikut ini.
Selama sembilan hari mulai 13 – 22 Juni 2012, ribuan acara diadakan menjelang dan selama Konferensi Tingkat Tinggi tentang Pembangunan Berkelanjutan, di Rio de Janeiro, Brazil, yang selanjutnya lebih dikenal dengan KTT Rio+20, yang merupakan konferensi PBB terbesar yang pernah diselenggarakan dengan jumlah peserta sebanyak 29.373 orang yang terdiri dari para pemimpin Pemerintah, bisnis dan organisasi kemasyarakatan, pejabat PBB, akademisi, wartawan dan masyarakat umum (Delegasi sekitar 12.000 orang,  LSM dan Kelompok Utama 10.047 orang dan Media 3.989 orang).
KTT Pembangunan Berkelanjutan atau KTT Rio+20 diikuti oleh 191 negara yang dihadiri 105 Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan dan 487 menteri. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, didampingi oleh sejumlah Menteri.  Kehadiran Presiden RI dan sejumlah Menteri menunjukkan keseriusan Indonesia untuk menerapkan pembangunan berkelanjutan, termasuk kesiapan peran kepemimpinan Indonesia dalam agenda global.
KTT Rio+20 menyepakati Dokumen The Future We Want yang menjadi arahan bagi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di tingkat global, regional, dan nasional. Dokumen memuat kesepahaman pandangan terhadap masa depan yang diharapkan oleh dunia (common vision) dan penguatan komitmen untuk menuju pembangunan berkelanjutan (renewing political commitment). Dokumen ini memperkuat penerapan Rio Declaration 1992 dan Johannesburg Plan of Implementation 2002.
Dalam dokumen The Future We Want, terdapat 3 (tiga) isu utama bagi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, yaitu: (i) Green Economy in the context of sustainable development and poverty eradication, (ii) pengembangan kerangka kelembagaan pembangunan berkelanjutan tingkat global (Institutional Framework for Sustainable Development), serta (iii) kerangka aksi dan instrumen  pelaksanaan pembangunan berkelanjutan (Framework for Action and Means of Implementation).  Kerangka aksi tersebut termasuk penyusunan Sustainable Development Goals (SDGs)post-2015 yang mencakup 3 pilar pembangunan berkelanjutan secara inklusif, yang terinspirasi dari penerapan Millennium Development Goals (MDGs).
Bagi Indonesia, dokumen ini akan menjadi rujukan dalam pelaksanaan rencana pembangunan nasional secara konkrit, termasuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2014-2019, dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (2005-2025). Untuk itu, Kementerian Lingkungan Hidup, instansi Pemerintah terkait dan seluruh pemangku kepentingan akan menyusun langkah tindak lanjut yang lebih konkrit untuk pelaksanaan kebijakan di lingkup masing-masing.
Kebijakan Pemerintah Indonesia “pro-growth, pro-poor, pro-job, pro-environment” pada dasarnya telah selaras dengan dokumen The Future We Want. Dalam sesi debat umum, Presiden RI menekankan bahwa untuk mewujudkan tujuan utama pembangunan berkelanjutan yaitu pengentasan kemiskinan, diperlukan tidak hanya sekedar pertumbuhan ekonomi, namun pertumbuhan yang berkelanjutan dengan pemerataan atau “Sustainable Growth with Equity”.
Rio+20 ini menghasilkan lebih dari US$ 513 Milyar yang dialokasikan dalam komitmen untuk pembangunan berkelanjutan, termasuk di bidang energi, transportasi, ekonomi hijau, pengurangan bencana, kekeringan, air, hutan dan pertanian. Selain itu terbangun sebanyak 719 komitmen sukarela untuk pembangunan berkelanjutan oleh pemerintah, dunia usaha, kelompok masyarakat sipil, universitas dan lain-lain.


Referensi:
Galizzi P.  2005.  From Stockholm to New York, via Rio and Johannesburg: Has the environment lost its way on the global agenda?  Fordham International Law Journal.  29(5):952-1008.
Kementerian Lingkungan Hidup.  2011.  Sejarah KLH.  Dalam http://www.menlh.go.id/ tentang-kami/sejarah-klh/. Diakses tanggal 5 Januari 2014.
Rogers PP, Jalal KF, dan Boyd JA.  2008.  An Introduction to Sustainable Development.  London.  Glen Educational Foundation, Inc.

Silalahi D.  2003.  Pembangunan berkelanjutan dalam rangka pengelolaan (termasuk perlindungan) sumber daya alam yang berbasis pembangunan sosial ekonomi.  Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII.  Diselenggarakan di Denpasar tanggal 14-18 Juli 2003.

Rabu, 07 Mei 2014

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan




BAGIAN PERTAMA
PENGERTIAN EKOWISATA
“Pahamilah sesuatu dengan membandingkannya secara  setara”
Pariwisata dapat dianggap sebagai sebuah sistem yang memungkinkan wisatawan menikmati objek dan daya tarik wisata (ODTW) pada suatu wilayah.  Sebagai sebuah sistem, pariwisata terdiri atas elemen-elemen yang saling berinteraksi satu dengan yang lainnya secara terorganisir.  Karena pariwisata merupakan bentuk perjalanan, maka tidak mungkin wisatawan dapat menikmati ODTW tanpa pelayanan dari biro perjalanan.  Karena pariwisata juga untuk mendapatkan pengalaman, tidak mungkin wisatawan mencapai kepuasan tanpa adanya profesionalitas pengelola ODTW, dan begitulah seterusnya.
Namun demikian, anda mungkin pernah melihat kawasan wisata yang kotor akibat sampah yang dibuang secara sembarangan, tindakan merusak sumber daya alam dan lingkungan, munculnya perilaku menyimpang dari norma-norma dan nilai-nilai universal, dan sebagainya.  Akibat, paradigma pariwisata pun berubah dari pariwisata lama yang bersifat massal (mass tourism) ke pariwisata baru yang ramah lingkungan, dan ekowi-sata adalah satu diantaranya.
Tapi anda tidak boleh keliru, karena tidak semua wisata bentuk baru tersebut dapat dianggap sebagai ekowisata.  Anda harus memahami prinsip-prinsip kunci yang menyusun suatu pemaknaan ekowisata itu sendiri.  Ada beberapa perspektif da-lam mendefinisikan ekowisata, dan hal tersebut akan dijelaskan berikut ini.
Perspektif Perjalanan ke Kawasan Alami
Sekurang-kurangnya ada tiga pengertian ekowisata yang dirumuskan dalam konteks perjalanan ke kawasan alami seperti dirangkum oleh Drumm dan Moore (2005:15) dan Wood (2002: 9), sebagai berikut:
1.    Definisi yang pertama kali diterima secara luas adalah defini-si yang diberikan oleh The International Ecotourism Society pada tahun 1990, yaitu:
“Ekowisata adalah perjalanan bertanggung jawab ke kawasan alami untuk mengkonservasi lingkungan dan memperbaiki kesejahteraan masyarakat lokal”
2.    Martha Honey pada tahun 1999 juga mengusulkan pengertian yang lebih detail, yaitu:
“Ekowisata adalah perjalanan ke kawasan rentan, belum terjamah, dan dilindungi namun berdampak rendah dan skala kecil.  Ekowisata mendidik wisatawan, menyediakan dana untuk konservasi, memberikan manfaat langsung bagi pembangunan ekonomi dan pember-dayaan masyarakat lokal, dan mengedepankan respek terhadap perbedaan budaya dan hak azasi manusia”
3.    IUCN pada tahun 1996 memberikan pengertian yang diadopsi oleh banyak organisasi, yaitu:
“Ekowisata adalah perjalanan bertanggung jawab secara lingkungan dan kunjungan ke kawasan alami, dalam rangka menikmati dan menghargai alam (serta semua ciri-ciri budaya masa lalu dan masa kini) untuk mempromosikan konservasi, memiliki dampak kecil dan mendorong pelibatan sosial ekonomi masyarakat lokal secara aktif sebagai penerima manfaat”
Perspektif Bentuk Wisata
David Bruce Weaver, seorang pengajar pada Fakultas Manajemen Pariwisata dan Perhotelan Universitas Griffith mendefinisikan ekowisata sebagai suatu bentuk wisata, sebagai beri-kut:
“Ekowisata adalah suatu bentuk wisata berbasis alam yang berupaya melestarikannya secara ekologis, sosial budaya, dan ekonomi dengan menyediakan kesempatan penghargaan dan pembelajaran tentang lingkungan alami atau unsur-unsur spesifik lainnya” (seperti ditulis dalam Weaver 2001:105).

“Ekowisata adalah bentuk wisata yang mengedepankan pengalaman pembelajaran dan penghargaan terhadap lingkungan alami, atau beberapa komponennya, dalam konteks budaya yang berkaitan dengannya.  Ekowisata memiliki keunggulan (dalam praktek terbaiknya) dalam kelestarian lingkungan dan sosial budaya, terutama dalam meningkatkan basis sumber daya alam dan budaya dari destinasi dan mempromosikan pertumbuhan” (seperti di-tulis Weaver (2002) dalam Dowling dan Fennell 2003:3).

Perspektif Konsep dan Implementasi yang Berbeda
Ekowisata menjelma menjadi sebuah konsep dan imple-mentasi yang berbeda dengan bentuk wisata lainnya.  Ada beberapa pengertian yang menegaskan perbedaan tersebut, seperti yang ditulis oleh Ryel dan Grasse (1991:164) sebagai berikut:
“Ekowisata sebagai perjalanan penuh tujuan untuk menciptakan suatu pemahaman sejarah budaya dan alam, dengan menjaga integritas ekosistem dan menghasilkan manfaat ekonomi yang mendorong konservasi”
Western (1993:8) juga mencoba menegaskan konsep dan implementasi ekowisata sebagaimana telah ditulisnya sebagai berikut:
“Ekowisata adalah hal tentang menciptakan dan memuaskan suatu keinginan akan alam, tentang mengeksploitasi potensi wisata untuk konservasi dan pembangunan, dan tentang mencegah dampak negatifnya terhadap ekologi, kebudayaan, dan keindahan”

Kesimpulan
Jika Dowling dan Fennell (2003:3) menyebutkan bahwa lebih dari 80 definisi ekowisata ditemukan dalam berbagai literatur tentang ekowisata, maka anda berpotensi mengalami penyimpangan dalam memaknai ekowisata.  Oleh karena itu, berpikir kritis adalah salah satu langkah tepat untuk memaknai sesuatu sesuai perspektif yang menyertainya.
Pengertian yang disampaikan dalam bagian pertama ini merupakan beberapa pengertian yang dapat kita kelompokkan dalam perspektif yang berbeda.  Tentunya, anda akan lebih memahami pengertian ekowisata bila anda dengan tekun membaca berbagai pengertian yang sejawat diantara banyak pengertian yang ada.
  
Daftar Pustaka
Dowling RK dan Fennell DA.  2003.  The Context of Ecotou-rism Policy and Planning.  Di dalam: Fennel DA dan Dowling RK (editor).  Ecotourism Policy and Planning.  Cambridge.  CABI Publishing.  Hal 1-20.
Drumm A dan Moore A.  2005.  Ecotourism Development: A Manual for Conservation Planners and Managers.  Volume I: An Introduction to Ecotourism Planning (Second Edition).  Virginia.  The Nature Conservancy.
Ryel R dan Grasse T.  1999.  Marketing Tourism: Attracting the Elusive Ecotourist.  Di dalam: Whelan T (editor).  Nature Tourism: Managing for the Environment.  Washington.  Island Press.  Hal 164-186.
Western D.  1993.  Memberikan Batasan tentang Ekoturisme.  Di dalam: Lindberg K dan Hawkins DE (editor).  Ekotu-risme: Petunjuk untuk Perencana dan Pengelola (terjemahan).  Jakarta.  Private Agencies Collaborating Toge-ther (PACT) dan Yayasan Alam Mitra Indonesia (ALA-MI).  Hal 15-33.
Weaver DB.  2001.  Ecotourism as mass tourism: Contradiction or reality?  Cornell Hotel and Restaurant Administration Quarterly.  42(2):104-112.
Wood ME.  2002.  Ecotourism: Principles, Practices, and Policies for Sustainability.  Paris.  United Nation Environment Programme.