“Orang bijak
selalu tidak akan pernah lupa dengan sejarah”
Anda yang sedang menempuh pendidikan
pascasarjana dalam bidang kajian lingkungan selalu dituntut untuk dapat
menjelaskan perkembangan konsep pembangunan dan lingkungan yang dibungkus dalam
paradigma pembangunan berkelanjutan.
Tulisan ini berusaha membantu anda untuk mengetahui perkembangannya,
yang disarikan dari beberapa tulisan yang mengupas tentang hasil-hasil KTT
tentang lingkungan yang telah berlangsung sejak 1972 sampai sekarang. Informasi dalam penelitian ini dapat
mengalami perkembangan sehingga anda juga dituntut untuk dapat mengkritisi
tulisan ini. Semoga tulisan ini
bermanfaat.
UNCHE - KTT
STOCKHOLM 1972
UNCHE (United Nations Conference on the Human
Environment) dilaksanakan pada tanggal 5-16 Juni 1972 di Stockholm
Swedia. KTT ini merupakan pertemuan
pertama kali yang berupaya mendorong paradigma pembangunan berkelanjutan dengan
menghadirkan pemimpin-pemimpin dunia dan pakar-pakar lingkungan. Fokus pertemuan adalah evolusi bagi konsep
perlindungan lingkungan hidup manusia sebagai elemen krusial dalam agenda
pembangunan. Pada pertemuan ini
sebenarnya sudah digali konsep keberlanjutan yang menyatakan hubungan antara
pembangunan ekonomi, kualitas lingkungan, dan keadilan sosial, meskipun belum
memberikan rumusan bagi pembangunan berkelanjutan itu sendiri. Hasil-hasil pertemuan UNCHE dikenal sebagai Stockholm Declaration, yang merumuskan 2
norma yaitu (1) prinsip 21 yang berkaitan dengan kerusakan lingkungan lintas
batas internasional dan (2) prinsip 24 yang berkaitan dengan kewajiban
bekerjasama. Hasil monumental dari
pertemuan ini adalah dibentuknya United
Nations Environment Programme (UNEP) pada tahun 1975 yang dimaksudkan untuk
mendorong kerjasama lingkungan internasional.
Di tingkat nasional, negara-negara mulai merancang atau memperbaiki
kelembagaan lingkungannya, baik organisasi lingkungan maupun peraturan
perundang-undangan yang menyangkut lingkungan (disarikan dari Rogers et al. 2008).
Indonesia yang
menghadiri konferensi tersebut mengambil langkah-langkah seperti mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1972 untuk membentuk panitia antar departemen yang
disebut dengan Panitia Perumus dan Rencana Kerja Bagi Pemerintah di Bidang Lingkungan
Hidup guna merumuskan dan mengembangkan rencana kerja di bidang lingkungan
hidup. Hasil kerja panitia, menurut
Silalahi (2003), dianut pertama kali dalam GBHN Indonesia tahun 1973 dengan
nama pembangunan berwawasan lingkungan. Tiga
tahun kemudian, Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1975. Keputusan Presiden ini
merupakan dasar pembentukan Panitia Inventarisasi dan Evaluasi Kekayaan Alam
dengan tugas pokoknya adalah menelaah secara nasional pola-pola permintaan dan
persediaan serta perkembangan teknologi, baik di masa kini maupun di masa
mendatang serta implikasi sosial, ekonomi, ekologi dan politis dari pola-pola
tersebut (Kementerian Lingkungan Hidup, 2011).
UNCHE – KTT NAIROBI 1982
Pada tahun 1982,
pertemuan kedua dilakukan di Nairobi Kenya dengan tetap menggunakan nama
UNCHE. Pertemuan ini menghasilkan
Deklarasi Nairobi yang pada intinya menegaskan bahwa prinsip-prinsip dalam
Deklarasi Stockholm masih sangat urgen untuk diimplementasikan, meskipun implementasinya
dinilai masih belum sepenuhnya.
Deklarasi Nairobi mendorong semua negara untuk mengemban tanggung jawab,
baik secara bersama atau individu, guna menjamin bahwa bumi yang kecil ini
diwariskan kepada generasi mendatang dalam kondisi yang menjamin kehidupan dan
martabat manusia (Galizzi 2005:969).
Berdasarkan
Resolusi Sidang Umum PBB yang dilaksanakan pada tahun 1983, pada tahun 1984
dibentuklah World Commission on
Environment and Development (WCED) yang diketuai oleh Perdana Menteri
Norwegia saat itu, Gro Harlem Brundtland, sehingga kemudian dikenal dengan nama
Komisi Brundtland. Mandat yang diemban
oleh komisi ini adalah mengkaji isu-isu kritis dari pembangunan dan lingkungan
serta merumuskan proposal realistik berkaitan dengan hal tersebut, mengajukan
bentuk kerjasama baru terhadap isu tersebut untuk mempengaruhi perubahan
kebijakan, dan meningkatkan pemahaman dan komitmen aksi individu, organisasi,
usaha, dan pemerintah. Komisi ini menghasilkan
laporan pada tahun 1987 yang berjudul “Our
Common Future” yang memperkenalkan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang menekankan
pada kebutuhan pendekatan pembangunan secara terpadu dalam konteks kebijakan
lingkungan (Rogers et al. 2008:158).
International Union for the Conservation of Natural
Resources
(IUCN) meluncurkan World Conservation
Strategy (WCS) pada tahun 1980, yang memberikan konsep awal pembangunan
berkelanjutan. Strategi ini menegaskan
bahwa konservasi alam tidak dapat dicapai tanpa pembangunan untuk mengurangi
kemiskinan dan kesengsaraan jutaan manusia dan menekankan saling ketergantungan
antara konservasi dan pembangunan. Dalam
Sidang Umum PBB tahun 1982, inisiatif WCS mencapai puncaknya dengan menyetujui World Charter for Nature. Piagam ini menyatakan bahwa manusia merupakan
bagian dari alam dan kehidupannya tergantung pada fungsi sistem alam yang tidak
terganggu.
Tepat juga 10
tahun setelah Konferensi Stockholm, Indonesia juga mengeluarkan undang-undang lingkungan hidup
pertama, yaitu Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam
undang-undang ini, diatur Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), yang
merupakan studi mengenai dampak sesuatu kegiatan yang direncanakan terhadap
lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan. Kelembagaan lingkungan hidup di tingkat pusat
juga mengalami perubahan dari sebelumnya disebut dengan Menteri Negara
Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup menjadi Menteri Negara Lingkungan
Hidup. Sementara itu sektor kehutanan
sebelumnya menjadi bagian dari Departemen Pertanian, dipisahkan menjadi
departemen tersendiri dengan nama Departemen Kehutanan pada tahun 1983. Kedua departemen tersebut yang kemudian
menjadi lokomotif internalisasi konsep-konsep yang dikembangkan IUCN di
Indonesia.
UNCED – KTT RIO DE JENEIRO 1992
United Nations Conference of Environment and
Development
(UNCED) dilaksanakan pada tanggal 3 -14 Juni 1992 di Rio De Jeneiro, Brasil
yang juga dikenal sebagai KTT Bumi.
Karya Komisi Brundtland menginspirasi KTT ini sehingga fokus lingkungan
meluas pada isu-isu kemiskinan dan penduduk.
Pada KTT ini juga terjadi evolusi yang luar biasa terhadap konsep pembangunan
berkelanjutan.
KTT Bumi
menghasilkan 5 dokumen penting yang menjadi agenda internasional untuk
pembangunan berkelanjutan memasuki abad 21 yang akan datang. Dokumen itu (Galizzi 2005:972) adalah sebagai
berikut: (1) Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan, yang merupakan
dokumen yang tidak mengikat secara hukum; (2) Agenda 21, yang merupakan rencana
ambisius dalam cara dan aksi konkrit mendorong pembangunan berkelanjutan; (3)
membuat United Nations Framework
Convention on Climate Change (UNFCCC), yang mengikat secara hukum berkaitan
dengan pemanasan global; (4) membuat Convention
on Biological Diversity (CBD), yang merupakan ketentuan yang mengikat
secara hukum berkaitan dengan keanekaragaman hayati; dan (5) Pernyataan
Prinsip-Prinsip bagi Konsensus Global tentang Manajemen, Konservasi, dan
Pembangunan Berkelanjutan dari semua jenis hutan yang lebih dikenal dengan Rio Forest Principles, yang juga
merupakan dokumen yang tidak mengikat secara hukum.
Deklarasi Rio
terdiri atas satu pembukaan dan 27 prinsip yang dianggap sebagai hukum
internasional dalam pembangunan berkelanjutan, yang dinilai merupakan konsep
yang lebih khusus dan lebih tepat dibandingkan dengan prinsip-prinsip yang ada
dalam Deklarasi Stockholm. Deklarasi Rio
mengandung prinsip-prinsip yang dapat dikategorikan dalam 4 kelompok, yaitu
hukum, kebijakan, ekonomi, dan kebijakan publik (Rogers et al. 2008).
Agenda 21
merupakan konsep program aksi yang mengatur aktivitas-aktivitas manusia yang
memiliki dampak lingkungan. Meskipun
agenda 21 tidak mengikat secara hukum, namun ia merepresentasikan komitmen
politik. Agenda 21 terdiri atas 40 bab
dan 4 bagian utama, yaitu (1) dimensi sosial ekonomi, (2) konservasi dan
manajemen sumber daya untuk pembangunan, (3) memperkuat peran kelompok utama,
dan (4) cara implementasi. Isu
lingkungan utama dalam agenda 21 (Galizzi 2005:975) yaitu perlindungan
atmosfir, pendekatan terpadi perencanaan dan pengelolaan sumber daya lahan,
mengendalikan deforestasi, mengelola ekosistem rentan terhadap penggurunan dan
kekeringan, mendorong pembangunan pedesaan dan pertanian berkelanjutan,
konservasi biodiversitas, manajemen bioteknologi yang ramah lingkungan,
perlindungan ekosistem laut dan pesisir, perlindungan kualitas dan suplai
sumber daya air tawar, dan manajemen bahan kimia beracun dan limbah berbahaya.
KTT Bumi ini
dianggap merupakan sebuah konferensi yang banyak menghasilkan keberhasilan
terutama yang berkaitan dengan UNFCCC dan CBD, yang diterima sebagai ketentuan
yang mengikat. UNFCCC dimaksudkan untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer
pada tingkat yang akan mencegah gangguan antropogenik yang membahayakan sistem iklim, yang kemudian
mendorong dilaksanakan Conference of
Parties (COP) tentang perubahan iklim.
Perdebatan sampai isu-isu tentang pemanasan global dan perubahan iklim
menjadi lebih intensif dibicarakan sejak diluncurkannya Protokol Montreal pada
tahun 1992 dan Protokol Kyoto pada tahun 1997, yang juga diratifikasi oleh
Indonesia. Pada Protokol Kyoto tersebut,
diinisiasi 2 program penting, yaitu Clean
Development Mechanism (CDM) dan Reducing
Emission from Deforestation dan Forest Degradation (REDD), khusus untuk
REDD ini mengalami perdebatan panjang sampai tahun 2009. Sedangkan CBD tidak hanya berbicara
konservasi sumber daya hayati, tetapi juga respek terhadap pengetahuan
tradisional masyarakat lokal dalam pelestarian biodiversitas dan pemanfaatan
secara lestari.
Pertemuan
lingkungan yang dilaksanakan pada tahun 2000, dibawah kendali Sidang Umum PBB,
yang juga sering disebut dengan Millennium Summit. Dalam pertemuan tersebut, delegasi PBB mendorong
tujuan dan target pembangunan internasional yang dikenal dengan Millennium Development Goals
(MDGs). MDGs berisikan 8 target, yaitu:
(1) mengentaskan kemiskinan dan kelaparan, (2) meningkatkan pendidikan, (3)
mendorong persamaan gender dan pemberdayaan wanita, (4) mengurangi kematian
anak, (5) memperbaiki kesehatan ibu, (6) mengentaskan HIV/Aids, malaria, dan
penyakit lainnya, (7) menjamin kelestarian lingkungan, dan (8) mengembangan
kerjasama global dalam pembangunan (disarikan dari Rogers et al. 2008)
Keberadaan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya membuat Indonesia selangkah lebih maju dalam CBD. Dalam konteks kebijakan, Indonesia juga
menyusun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(menggantikan Undang-Undang No. 4 Tahun 1982).
WSSD – KTT JOHANNESBURG 2002
World Summit on
Sustainable Development (WSSD) dilaksanakan pada tanggal 26 Agustus sampai 4
September 2002 di Johannesburg Afrika Selatan.
Dari pembahasan pada konferensi sebelumnya, beberapa faktor muncul
sebagai prasyarat untuk mencapai pembangunan berkelanjutan : pengentasan
kemiskinan, perencanaan pertumbuhan populasi, pengendalian pencemaran,
perbaikan kebijakan dan pasar, tata kelola yang baik, dan pengelolaan
bencana. Tapi mencapai tujuan ini
tidaklah gampang. Delegasi dari 191
negara termasuk 109 kepala negara, menghadiri WSSD di Johannesburg yang
diadakan oleh PBB. Jumlah peserta
mencapai 21.000, bahkan lebih banyak lagi karena banyak yang tidak
tercatat. Diperkirakan peserta mencapai
60.000. Sumber-sumber kompeten di WSSD
mengklaim bahwa konferensi ini adalah yang terbanyak pesertanya sepanjang
sejarah PBB. Berikut ini kita sarikan
dari Rogers et al. (2008) yang dengan lengkap membahas tentang WSSD.
Agenda WSSD
membahas tentang kesehatan, biodiversitas, ekosistem, pertanian, air dan
sanitasi, dan energi serta isu-isu yang mempengaruhinya seperti finansial,
perdagangan, transfer teknologi, informasi, pendidikan, pola konsumsi, dan
peningkatan kapasitas. Selain agenda
resmi, juga ada banyak kegiatan seperti seminar, eksibisi, pertemuan, dan
diskusi panel yang dihadiri oleh LSM, pemerintah, dan lembaga PBB. Masalah-masalah yang dibahas meliputi air dan
sanitasi, tata kelola yang baik, bisnis, aksi pemerintah daerah, perdagangan
dan pembangunan, kesempatan kerja, kemitraan, dan kerjasama Selatan-Selatan
(antar negara berkembang).
Ada kesepakatan
tentang perlunya sektor swasta mengembangkan transparansi dan keteraturan
lingkungan sebagai tanggung jawab usaha.
Hal ini menjadi isu yang sangat prioritas bagi pembuat kebijakan di
Amerika Serikat. Juga ada fokus pada
perlunya monitoring implementasi Agenda 21 Konferensi Rio; MDG's yang disetujui
Sidang Umum PBB dan Komitmen Johannesburg tentang Pembangunan
Berkelanjutan. Kepala Pemerintahan pada
saat WSSD menyatakan pentingnya monitoring implementasi tersebut sebagai agenda
utama konferensi 5 tahun mendatang.
Salah satu hasil
yang sangat penting adalah realisasi pembangunan berkelanjutan bukan hanya
berhasil dalam skala global tetapi juga sangat berhasil jika diimplementasikan
wilayah per wilayah. Masing-masing
wilayah memiliki perspektif sendiri terhadap rekomendasi WSSD dan itu menjadi
kekuatan bagi mereka untuk memantau implementasi sesuai keinginan mereka. Kenyataannya, pada beberapa wilayah
keberhasilan lebih terasa pada skala lokal dan nasional (Smith dan Jalal,
2000).
Dua hasil utama
dari konferensi yaitu deklarasi politik, yang kemudian diadopsi oleh semua
negara yang hadir; dan Komitmen Johannesburg tentang Pembangunan Berkelanjutan,
sebuah dokumen teknis yang berisi sejumlah rekomendasi yang disetujui untuk
diimplementasikan oleh negara yang hadir.
· Deklarasi
Politik
Deklarasi
politik memperkuat komitmen pembangunan berkelanjutan dan tidak boleh ada yang
melarang suatu bangsa memanfaatkan hasil pembangunan. Bagi negara yang ingin mengembangkan
pembangkit tenaga batubara akan tetapi mereka tidak punya cara mitigasi lingkungan
atau teknologi lingkungan, maka komunitas donor internasional mendirikan Global Environment Facility (GEF).
Deklarasi
politik juga menyebutkan bahwa kemiskinan merupakan tantangan paling berat
dalam mendorong pembangunan berkelanjutan, untuk itu diperlukan keadilan sosial
ekonomi di dalam dan antar bangsa di dunia.
Deklarasi juga menyatakan perlunya membahas isu-isu tata kelola.
Mungkin
deklarasi ini terdengar seperti retorika politik belaka, namun paling tidak ada
komitmen dari negara-negara untuk melaksanakannya. Pemimpin dunia yang hadir juga setuju bahwa
demokrasi, aturan hukum, kebebasan dan HAM, serta perdamaian dan keamanan
sangat penting bagi pembangunan berkelanjutan.
Mereka setuju untuk memberantas terorisme, kejahatan terorganisir, dan korupsi. Selain itu juga menyetujui hal-hal yang
berkaitan dengan kepemimpinan politik, ketahanan pangan, ketersediaan air,
sanitasi, dan kesehatan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia dan
pembangunan berkelanjutan. Pemerintahan
yang hadir juga berkomitmen untuk mengurangi kerusakan akibat bencana alam
dengan memperkuat kerjasama internasional dan mengembangkan teknologi seperti
sistem deteksi dini.
· Komitmen
Johannesburg tentang Pembangunan Berkelanjutan
Hasil kedua
adalah rencana implementasi. Empat kali
pertemuan dilaksanakan dalam jangka waktu 3 bulan untuk mempersiapkan dokumen
yang diharapkan akan dapat diterima oleh negara yang hadir. Mereka yang membuat dokumen tersebut
seringkali tidak menyetujui secara penuh klausal yang dipakai, salah satunya
karena bahasa. Dari 615 sub bab dalam
laporan tersebut, 156 diantaranya diperdebatkan, yang menunjukkan sejumlah
delegasi mempermasalahkan beberapa bab dalam dokumen tersebut.
Ketika
kesepakatan dicapai dari 191 negara yang hadir karena menilai 75 % isinya cukup
relevan, tapi masyarakat dunia masih tidak setuju dengan isu globalisasi dimana
93 % paragraf yang membahas topik tersebut tidak disetujui. Negara maju bersikukuh dengan manfaat
globalisasi sedangkan negara berkembang melihatnya sebagai sebuah upaya
eksploitasi sumber daya, menghancurkan warisan budaya leluhur, dan memperburuk
masalah lingkungan (seperti ekspor polusi).
Ketika membahas
implementasi, semuanya setuju paragraf yang membahas pengentasan kemiskinan,
penyediaan air, promosi sanitasi, perlindungan kesehatan manusia, pengembangan
energi berkelanjutan, dan sebagainya.
Kendalanya hanyalah masalah uang : mayoritas delegasi (89%) tidak setuju
dengan cara pendanaan mega proyek : juga 85 % tidak setuju dengan isu-isu
pengenaan tarif, trade barrier dan
subsidi pertanian. Dokumen akhirnya
disetujui walaupun gagal secara menyeluruh membahas isu-isu penting seperti
globalisasi, finansial, dan perdagangan.
Hasil
Positif Konferensi
Konferensi
Johannesburg dianggap berhasil karena beberapa alasan :
1.
Pengembangan
Konsep
Pada
tahun 1992, konferensi fokus pada lingkungan dan pembangunan, tapi Konferensi
Johannesburg merupakan pertemuan pertama yang membahas implementasi lingkungan
dan pembangunan yang memperkenalkan bahwa pengelolaan lingkungan bukan tentang
mengelola lingkungan tapi tentang mengelola aktifitas lingkungan sesuai dengan
kapasitas lingkungan. Jadi konsep
pembangunan berkelanjutan ditekankan dalam perspektif pemerintahan dan
sejenisnya.
2.
Memperbaiki
tata kelola
Pertemuan
Johannesburg juga mengenal pembangunan berkelanjutan sebagai kerangka tata
kelola global, sebuah topik yang kemudian akan dibahas pada sidang umum PBB.
3.
Perbaikan
Kemauan Politik Pemerintah
Untuk
pertemuan Johannesburg, PBB mencoba membuat lembaga baru yang dikenal dengan
WEO. Ide tersebut batal karena
pemerintah yang hadir menyebutkan bahwa penambahan birokrasi bukan menjadi
keinginan mereka, tapi yang diperlukan adalah memperbaiki koordinasi antar
organisasi yang ada dan kemauan politik pemerintah.
4.
Penentuan
target komitmen teknis dan finansial
Terakhir,
WSSD memberikan kesempatan untuk menentukan target bagi komitmen teknis dan
finansial. Dua jenis kesepakatan yang
dicapai :
· Tipe 1 -
Kesepakatan antara pemerintahan; dan
· Tipe 2 -
Kesepakatan antara LSM dan sektor swasta atau
antara Pemerintah dan LSM dengan swasta
Pertama kali
dalam sejarah pertemuan yang diadakan oleh PBB, kesepakatan Tipe 2 dibahas dan
dipertimbangkan secara lebih mendalam.
Contohnya, beberapa perusahaan kayu bertemu dengan perusahaan asuransi
pada sesi topik swasta di Johannnesburg untuk membahas sustainable logging.
Investor mengatakan bahwa perusahaan kayu diperkenankan menebang tapi
harus sesuai dengan kondisi lingkungan seperti mencapai hasil lestari dan
menggunakan ecolabelling terhadap produk
kayunya. Biasanya hal-hal seperti itu
tidak dapat dibahas pada kesempatan pertemuan resmi. WSSD membuka kesempatan pemerintah,
perusahaan kayu, dan investor untuk dikritik oleh LSM dan media, oleh sebab itu
kesepakatan ini dianggap sebagai inovasi.
Dengan banyaknya
komitmen finansial yang dibuat, kesepakatan tersebut dinilai baru dan sebagai
sumber daya tambahan serta dapat bermanfaat bagi negara berkembang dan bagi
negara yang menyediakannya. Delegasi
Amerika Serikat aktif dalam masalah finansial ini ketika Menteri Sekretaris
Negara Colin L. Powell memimpin delegasi dan menyampaikan paper berjudul "Making Sustainable Development Work"
Pemerintah
Amerika Serikat membuat berbagai inisiatif pembangunan berkelanjutan yang
dilakukan oleh berbagai lembaga ditingkat lokal. Sebagai contoh, Proyek Harvard untuk daur
ulang limbah mampu menangani 4.267 ton limbah daur ulang selama tahun anggaran
2002. Hasil ini mampu mencegah pelepasan
2.336 meter kubik CO2 ke atmosfir atau setara dengan mengurangi
1.785 mobil penumpang di jalanan. Banyak
cerita keberhasilan di tingkat lokal, yang mungkin kurang berhasil diterapkan
di tingkat nasional (Smith dan Jalal, 2000).
UNCSD – KTT RIO DE JENEIRO 2012
Selama sembilan
hari mulai 13 – 22 Juni 2012, ribuan acara diadakan menjelang dan selama
Konferensi Tingkat Tinggi tentang Pembangunan Berkelanjutan, di Rio de Janeiro,
Brazil, yang selanjutnya lebih dikenal dengan KTT Rio+20, yang merupakan
konferensi PBB terbesar yang pernah diselenggarakan dengan jumlah peserta
sebanyak 29.373 orang yang terdiri dari para pemimpin Pemerintah, bisnis dan
organisasi kemasyarakatan, pejabat PBB, akademisi, wartawan dan masyarakat umum
(Delegasi sekitar 12.000 orang, LSM dan Kelompok Utama 10.047 orang dan
Media 3.989 orang).
KTT
Pembangunan Berkelanjutan atau KTT Rio+20 diikuti oleh 191 negara yang dihadiri
105 Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan dan 487 menteri. Delegasi Indonesia
dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, didampingi
oleh sejumlah Menteri. Kehadiran Presiden RI dan sejumlah Menteri
menunjukkan keseriusan Indonesia untuk menerapkan pembangunan berkelanjutan,
termasuk kesiapan peran kepemimpinan Indonesia dalam agenda global.
KTT
Rio+20 menyepakati Dokumen The Future We Want yang menjadi arahan bagi pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan di tingkat global, regional, dan
nasional. Dokumen memuat kesepahaman pandangan terhadap masa depan yang
diharapkan oleh dunia (common vision) dan penguatan komitmen untuk
menuju pembangunan berkelanjutan (renewing political commitment).
Dokumen ini memperkuat penerapan Rio
Declaration 1992 dan Johannesburg Plan of
Implementation 2002.
Dalam
dokumen The Future We Want,
terdapat 3 (tiga) isu utama bagi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, yaitu:
(i) Green Economy in the
context of sustainable development and poverty eradication, (ii)
pengembangan kerangka kelembagaan pembangunan berkelanjutan tingkat global (Institutional
Framework for Sustainable Development), serta (iii) kerangka aksi dan
instrumen pelaksanaan pembangunan berkelanjutan (Framework for Action
and Means of Implementation). Kerangka aksi tersebut termasuk
penyusunan Sustainable Development Goals (SDGs)post-2015 yang mencakup 3 pilar pembangunan
berkelanjutan secara inklusif, yang terinspirasi dari penerapan Millennium Development Goals
(MDGs).
Bagi
Indonesia, dokumen ini akan menjadi rujukan dalam pelaksanaan rencana
pembangunan nasional secara konkrit, termasuk dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2014-2019, dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(2005-2025). Untuk itu, Kementerian Lingkungan Hidup, instansi Pemerintah
terkait dan seluruh pemangku kepentingan akan menyusun langkah tindak lanjut
yang lebih konkrit untuk pelaksanaan kebijakan di lingkup masing-masing.
Kebijakan
Pemerintah Indonesia “pro-growth, pro-poor, pro-job, pro-environment”
pada dasarnya telah selaras dengan dokumen The
Future We Want. Dalam sesi debat umum, Presiden RI menekankan bahwa untuk
mewujudkan tujuan utama pembangunan berkelanjutan yaitu pengentasan kemiskinan,
diperlukan tidak hanya sekedar pertumbuhan ekonomi, namun pertumbuhan yang
berkelanjutan dengan pemerataan atau “Sustainable Growth with Equity”.
Rio+20
ini menghasilkan lebih dari US$ 513 Milyar yang dialokasikan dalam komitmen
untuk pembangunan berkelanjutan, termasuk di bidang energi, transportasi,
ekonomi hijau, pengurangan bencana, kekeringan, air, hutan dan pertanian.
Selain itu terbangun sebanyak 719 komitmen sukarela untuk pembangunan
berkelanjutan oleh pemerintah, dunia usaha, kelompok masyarakat sipil,
universitas dan lain-lain.
Referensi:
Galizzi P. 2005.
From Stockholm to New York, via Rio and Johannesburg: Has the
environment lost its way on the global agenda?
Fordham International Law Journal. 29(5):952-1008.
Kementerian
Lingkungan Hidup. 2011.
Sejarah KLH. Dalam http://www.menlh.go.id/ tentang-kami/sejarah-klh/.
Diakses tanggal 5 Januari 2014.
Rogers PP, Jalal KF, dan Boyd JA. 2008. An Introduction to Sustainable Development.
London.
Glen Educational Foundation, Inc.
Silalahi D.
2003. Pembangunan berkelanjutan
dalam rangka pengelolaan (termasuk perlindungan) sumber daya alam yang berbasis
pembangunan sosial ekonomi. Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII. Diselenggarakan di Denpasar tanggal 14-18
Juli 2003.