PERSPEKTIF SUMATERA BARAT DALAM IMPLEMENTASI PHBM
Oleh :
Ferdinal Asmin
Gubernur Sumatera Barat, Irwan
Prayitno, pada Lokakarya Penyiapan Skema
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Sebagai Penerima Manfaat Utama Pendanaan
Karbon dan Mendukung Target Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca yang dilaksanakan di
Hotel Mercure Padang pada tanggal 29 – 31 Mei 2012, telah meluncurkan target
perluasan skema PHBM di Sumatera Barat sebesar minimal 250.000 hektar. Dari target tersebut, telah dirinci oleh
Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Barat untuk memperluas skema PHBM itu pada masing-masing
Kabupaten/Kota se-Sumatera Barat dengan total arahan indikatif seluas 500.000
hektar.
Melihat jumlah target dan total arahan indikatif
perluasan skema PHBM di Sumatera Barat, ternyata ada yang optimis dan juga ada
yang pesimis hal tersebut bisa dicapai.
Yang optimis pasti memberikan apresiasi terhadap apa yang telah
dicanangkan Sumatera Barat. Tapi yang
pesimis tentunya pasti meragukan kemampuan Sumatera Barat untuk mencapai hal tersebut. Namun optimisme dan pesimisme tersebut
tentunya didasari pada suatu keinginan untuk kemajuan pengelolaan hutan
Sumatera Barat yang lebih baik kedepannya.
Konsepsi PHBM
Istilah PHBM memang masih banyak membingungkan dan
diinterpretasikan secara beragam, bahkan di kalangan rimbawan sendiri. Hal ini sedikit banyaknya dapat tergambarkan
pada kurangnya pemahaman rimbawan dalam menangkap esensi dari PHBM itu
sendiri. Pertanyaan-pertanyaan
mendasarpun selalu mengemuka seperti bisakah masyarakat mengelola hutan sesuai
dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan yang ada ? Bukankah dengan PHBM ini akan semakin memicu
meningkatnya tekanan masyarakat terhadap kawasan hutan yang ada ? Dan sejumlah
pertanyaan lainnya.
Penggunaan singkatan PHBM juga dengan bermacam
kepanjangan. Ada yang menggunakan istilah
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, dan/atau ada juga yang menggunakan istilah
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat.
Sumatera Barat lebih suka menggunakan istilah yang terakhir atau yang
lebih dikenal dengan Community Based
Forest Management (CBFM) dengan argumentasi bahwa secara historis,
masyarakat Sumatera Barat banyak mengembangkan best practices pengelolaan hutan dan lahan dengan kearifan lokal
yang dimilikinya, dan hal tersebut ternyata menjadi sebuah keunggulan.
Menurut Wiersum (2004), ada dua fokus utama CBFM yaitu
(1) pengelolaan hutan oleh masyarakat dalam bentuk pengelolaan sumber daya
hutan pada berbagai jenis lahan dalam wilayah teritorial masyarakat dan (2)
pengelolaan bersama dalam bentuk kolaborasi berbagai kelompok masyarakat dalam
pengelolaan lahan hutan negara berdasarkan pendelegasian tanggung jawab oleh
pemerintah.
Merujuk pada fokus utama tersebut, maka CBFM di Sumatera
Barat dilakukan dengan pendekatan strategi kehutanan sosial (social forestry) dimana strategi ini
diharapkan merupakan payung bagi semua jenis aktifitas pengelolaan sumber daya
alam berbasis hutan dan lahan. Dalam
kerangka strategi social forestry
tersebut, ada 5 tahapan yang harus dikerjakan, yaitu (1) memahami karakter
wilayah baik secara sosial budaya, ekonomi dan ekologis, (2) mengidentifikasi
subsistem yang mempengaruhi sistem pembangunan wilayah, (3) melakukan kajian means end values, (4) menentukan tujuan
pengelolaan, dan (5) menetapkan regime
pengelolaan yang akan dilakukan.
Jadi, skema CBFM sebagaimana diatur dalam peraturan
perundangan terkait dengan kehutanan digunakan sebagai alat/media untuk
mencapai tujuan pengelolaan hutan dan lahan yang lebih baik. Yang lebih penting dari itu adalah menjamin
bahwa proses sebagaimana diprasyaratkan dalam strategi social forestry tersebut secara konsisten dijalankan dalam
mengembangkan berbagai praktek kelola hutan dan lahan.
Hal yang juga menjadi perhatian penting dalam
pengembangan PHBM di Sumatera Barat adalah aktualisasi kapasitas rimbawan
profesional dalam menstimulasi peran aktif masyarakat lokal dalam skala
tertentu dan mengembangkan aneka aktifitas pengelolaan hutan sebagai alat
memperbaiki kesejahteraan masyarakat.
Pengembangan cara-cara menstimulasi masyarakat lokal untuk
mengintensifkan pengelolaan hutan terdiri dari menjamin akses terhadap lahan,
insentif finansial, dukungan teknis, penyuluhan, penyusunan kerangka
kelembagaan yang tepat, aspek legalitas, kebijakan tenure, penguatan kelembagaan kehutanan dan lain sebagainya.
Peta Jalan Implementasi PHBM
Dalam rangka pencapaian target pengembangan PHBM di
Sumatera Barat, Pemerintah Propinsi Sumatera Barat melalui Dinas Kehutanan
telah mengelaborasi langkah-langkah strategis pencapaian target dalam buku
Rencana Kerja Pengembangan Perhutanan Sosial Tahun 2012 – 2017. Buku ini merupakan peta jalan (roadmap) pencapaian target perluasan
skema PHBM yang menjelaskan langkah-langkah yang akan dilakukan, uraian target
masing-masing kabupaten/kota dan dukungan pihak yang diperlukan.
Dalam peta jalan tersebut, pengembangan social forestry menjadi instrumen
penting promosi pengelolaan hutan sesuai dengan kearifan lokal yang telah
berkembang di masyarakat/nagari. Oleh
karena itu, tujuan implementasi PHBM adalah untuk mewujudkan pembangunan hutan
dan kehutanan yang arif dan bijaksana melalui optimalisasi peran aktif
masyarakat dalam pengelolaan hutan dengan basis kearifan lokal di tingkat
nagari menuju hutan lestari masyarakat sejahtera.
Arahan kebijakan strategis, sasaran dan langkah-langkah
dalam peta jalan tersebut sesuai dengan esensi tahapan pada strategi social forestry yang dipahami oleh
Sumatera Barat. Artinya, dalam
pengembangan PHBM, Pemerintah Propinsi Sumatera Barat mengedepankan
langkah-langkah memahami basis sosial ekonomi masyarakat secara komprehensif
dan holistik dengan memperhatikan kondisi ekologis yang ada. Pentingnya sebuah proses dalam mengembangkan
PHBM diuraikan dalam rencana-rencana kegiatan yang memperkuat KISS (koordinasi,
integrasi, sinkronisasi dan sinergisitas), mendorong FPIC dan/atau persetujuan
atas dasar informasi awal tanpa paksaan, mengembangkan upaya fasilitasi
intensif, mengembangkan pondasi kemitraan yang kuat, dan menjamin mekanisme
kendali yang efektif melalui pemantauan dan penilaian secara berjenjang.
Peta jalan tersebut juga mendapatkan respon positif dari
kabupaten/kota se-Sumatera Barat.
Beberapa kabupaten/kota telah merespon target yang dicanangkan oleh
Gubernur tersebut. Sesuai dengan peta
jalan yang telah disusun, Sumatera Barat saat ini lebih menitikberatkan pada
tahapan memahami karakter sosial ekonomi masyarakat dan menemukenali
subsistem-subsistem yang mempengaruhi pembangunan wilayah serta mendorong upaya
membangun kesepakatan di tingkat tapak melalui pemberian sosialisasi, penyuluhan,
bimbingan kelembagaan, dan pemetaan partisipatif terhadap areal-areal yang
telah, sedang dan akan menjadi areal kelola masyarakat.
Rasionalisasi Strategi
Untuk menjalankan peta jalan tersebut, Pemerintah
Propinsi Sumatera Barat telah membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Pengembangan
Perhutanan Sosial. Pokja ini terdiri
dari unsur Pemerintah Pusat (BPDAS Indragiri Rokan, BPDAS Batanghari, dan BPDAS
Agam Kuantan), unsur Pemerintah Daerah (Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera
Barat) dan unsur Lembaga Swadaya Masyarakat (KKI-Warsi). Ide dasar pembentukan Pokja ini adalah
sebagai pusat layanan bagi Pemerintah Pusat dan Daerah
(Propinsi/Kabupaten/Kota), Masyarakat, dan pihak terkait lainnya.
Pokja ini dapat langsung memberikan pelayanan kepada
Pemerintah Kabupaten/Kota dan Masyarakat yang ingin mendapatkan informasi dan
fasilitasi, membangun jejaring kerja, dan menjadi alat pengendali capaian
target sesuai dengan kriteria dan standar yang telah ditetapkan. Namun kedepan, keberadaan Pokja diharapkan
dapat mendorong peningkatan kapasitas SDM pada berbagai level dalam memahami
kebijakan strategis PHBM yang telah diluncurkan dan menjadi pemicu bagi tumbuh
dan berkembangnya komitmen yang kuat dari para pihak untuk mendukung
pengembangan PHBM.
Upaya konkrit lainnya yang telah didorong oleh Pokja
adalah mentransfer roh PHBM ini sebagai kebijakan strategis yang akan
dijalankan pada berbagai praktek pemanfaatan sumber daya berbasiskan hutan dan
lahan. Sebagai contoh, dalam penyusunan
Strategi dan Rencana Aksi Propinsi untuk implementasi REDD+, Sumatera Barat
juga mengembangkan kebijakan strategis PHBM ini sebagai basis implementasi
REDD+. Sumatera Barat menilai bahwa PHBM
menjadi alternatif terbaik upaya pengurangan deforestasi dan degradasi dengan
tetap memperhatikan perbaikan kesejahteraan masyarakat. PHBM juga menjadi jawaban yang logis untuk
menjembatani corporate dan masyarakat
dalam satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya untuk
mencapai keuntungan ekonomi dan ekologis yang dicita-citakan.
Akhirnya, semua target yang telah ditetapkan dapat dicapai secara
rasional dengan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki Sumatera Barat. Optimisme dan pesimisme adalah seperti sebuah
proses yang akan bermuara pada tumbuh dan berkembangnya skema-skema PHBM. Pasti akan ada pengalaman yang baik dan yang
buruk dalam implementasinya. Namun kita
harus tetap berkomitmen, jadikan pengalaman sebagai pelajaran untuk memperbaiki
proses yang telah, sedang dan akan dijalani.