LOGIKA TENTANG MINANG MART YANG TALONSONG
Oleh :
FERDINAL ASMIN
Kandidat Doktor PSL-IPB dan Awardee LPDP
Tulisan ini bukanlah dimaksudkan untuk menjawab tulisan Ronny P Sasmita (saya sebut sebagai Bung Ronny) yang berjudul “KOMEDI (TAK) LUCU MINANG MART”, tapi hanya memberikan pandangan lain terhadap pendapat yang disampaikan Bung Ronny. Sebagai seorang analis, Bung Ronny menyampaikan pendapat tentang kebijakan Minang Mart tentu dapat dimaklumi. Tetapi, saya menilai apa yang disampaikan Bung Ronny bukanlah sebuah analisis tapi lebih menjurus pada membangkitkan diskursus liberalisasi. Meskipun mengakui belum ‘ngeh” dengan Minang Mart, tapi Bung Ronny mengemukakan sembilan logika yang menggugat kebijakan Minang Mart di Sumatera Barat. Tapi sekali lagi, sembilan logika Bung Ronny tersebut sepertinya melewati batas (talonsong). Saya menguraikan pandangan saya mengikuti sembilan logika tersebut.
Pertama, Bung Ronny menilai Pemerintah Provinsi Sumatera Barat sedang mendikte pasar dengan Minang Mart. Tetapi, apakah 1000 Minang Mart yang ditargetkan pemerintah mampu mengambil alih dan mendikte pasar, sementara kebutuhan masyarakat Sumatera Barat juga banyak dipenuhi oleh produk-produk dari luar? Pemerintah Sumbar juga tidak pernah melarang produk-produk luar beredar di Sumbar. Ekspektasi publik dengan adanya Minang Mart adalah produk-produk lokal akan lebih mendapatkan tempat di hati konsumen di Sumatera Barat. Jadi, ini bukan persoalan larangan buang air besar (yang sebenarnya terlalu kasar diungkapkan di ruang publik), tetapi lebih saya perhalus lagi dengan persoalan perluasan kesempatan. Dengan brand Minang Mart, tentu baru akan menjadi lucu jika pemerintah tidak memberikan kesempatan yang memadai terhadap produk-produk lokal.
Kedua, Bung Ronny kemudian menilai Pemprov Sumbar malah membuang air besar (sekali lagi ini sebenarnya pilihan kalimat yang terlalu kasar di ruang publik) dengan mengeksekusi langsung Minang Mart. Saya berpandangan Pemprov Sumbar sedang berusaha memberikan kesempatan yang paling memungkinkan bagi perkembangan produk-produk lokal. Artinya, Pemprov Sumbar telah sadar bahwa hegemoni brand-brand tertentu ternyata sulit diintervensi pemerintah untuk menumbuhkembangkan produk-produk lokal. Ide Minang Mart kemudian muncul dengan klaim bahwa produk-produk lokal akan lebih mendapatkan tempat. Hal ini tentu harus kita tunggu pembuktiannya. Tentunya kelucuan akan terjadi jika ternyata Minang Mart tidak jauh beda dengan yang lainnya.
Ketiga, Bung Ronny mempersepsikan peran BUMD dalam mengelola Minang Mart tidak akan melibatkan peran swasta yang lain, bahkan kemudian mengkaitkannya dengan crony capitalism bahkan komunisme. Waw, sekali lagi, ini logika yang sangat ekstrim. Apakah Bung Ronny tidak melihat iklim perdagangan dari dulu sampai saat ini sebenarnya sudah mengarah ke crony capitalism. Apakah mungkin Sumbar yang ekonominya sudah terbuka dan tergantung dengan perdagangan lintas wilayah kemudian hanya karena ada Minang Mart tidak menganut liberalisasi ekonomi. China yang berpaham komunis dengan terpaksa mengikuti ekonomi liberal karena globalisasi ekonomi dunia, bukan karena kesadaran mereka. Saya meyakini bahwa liberalisasi ekonomi pasti akan dianut dalam pengelolaan Minang Mart. Persoalan sebenarnya adalah liberalisasi ekonomi telah melindas produk-produk lokal. Nah, tentunya bagaimana kiat Minang Mart menyikapi hal tersebut. Jika tidak mampu menyikapi itu, baru alangkah lucunya ide tersebut.
Keempat, Bung Ronny menilai tidak mungkin terbentuk competitive price karena adanya monopoli oleh Minang Mart. Bung Ronny seakan-akan membayangkan bahwa seluruh rantai pasok akan dikuasai Minang Mart dan mungkin akan melindas keberadaan pasar lokal. Tapi sebenarnya, harga di mart-mart yang lain juga ternyata lebih tinggi. Bahkan untuk komoditi pertanian, gap harga di tingkat petani dan pasar sangat jauh sekali bedanya. Jadi, masalah harga produk bukan hanya terletak pada tinggi dan rendahnya, tetapi juga bagaimana keadilan harga di tingkat petani dan konsumen. Ide Minang Mart tentunya harus menerobos hal tersebut. Nah, akan menjadi tambah lucu jika Minang Mart akan mencekik petani dan konsumen (yang notabene juga banyak orang Minang). Itu namanya jeruk makan jeruk. Apalagi kendali pemerintah seharusnya bisa lebih signifikan untuk mencipta persaingan harga yang sehat.
Kelima, Bung Ronny menilai ide Minang Mart sebagai orientasi bisnis akan menggerus peran pemerintah yang seharusnya sebagai pelayan masyarakat. Padahal, pelayanan masyarakat itu dilaksanakan oleh aparatur pemerintahan (yaitu PNS) dan BUMD bukanlah aparatur pemerintahan. Tugas-tugas pelayanan masyarakat dilakukan oleh aparatur pemerintah yang berada pada dinas dan badan lingkup Pemprov Sumbar. Apakah dengan banyaknya BUMN dan BUMD yang dimiliki oleh pemerintah kemudian PNS tidak ada kerjanya dan harus membantu tugas-tugas BUMN dan BUMD? Pelayanan PNS diatur dalam tugas pokok dan fungsi yang sangat jelas. Nah, ide Minang Mart seharusnya mampu membangkitkan inovasi PNS untuk mendorong tumbuh kembangnya produk-produk lokal. Akan semakin lucu, Minang Mart-nya sudah memberikan kesempatan luas untuk produk-produk lokal, tapi PNS Sumbar malah memfasilitasi masyarakat Sumbar untuk menghasilkan produk-produk non-lokal. Ini sungguh terlalu.
Keenam, Bung Ronny menilai ide Minang Mart akan menyebabkan Pemprov Sumbar hanya akan fokus pada distribusi, tidak memperhatikan produksi. Sebenarnya kelucuannya adalah Minang Mart-nya “menjamur”, tapi isinya kosong alias tidak ada produk-produk lokal. Tapi sepertinya kondisi tersebut hampir tidak mungkin karena tidak mungkin orang berusaha dengan pasokan yang tidak jelas. Produksi tentunya juga menyangkut kualitasnya. Tapi tentunya juga tidak mungkin Minang Mart akan menerima produk-produk yang tidak berkualitas. Kualitas produk akan semakin mendapatkan perhatian ketika kesempatan pemasaran produk-produk lokal tersebut semakin luas. Paling tidak kualitas kemasan produk-produk lokal juga akan semakin ditingkatkan. Nah, juga sepertinya akan menjadi lucu jika Minang Mart tidak bisa mendorong daya saing produk lokal karena persepsi konsumen Indonesia terhadap produk-produk asal Sumbar (terutama makanan) begitu positif.
Ketujuh, Bung Ronny menilai perlakuan khusus dalam akses perbankan (dari Bank Nagari) terhadap Minang Mart akan mendiskriminasi pelaku usaha yang lain. Sebenarnya, banyak bank yang dapat diakses oleh pelaku usaha, tidak hanya Bank Nagari, apalagi tingkat suku bunga yang ditetapkan juga tidak jauh berbeda. Sebagaimana kita ketahui, saham Pemprov Sumbar terhadap Bank Nagari sangat signifikan sehingga Bank Nagari selalu diidentikkan dengan bank-nya Pemprov Sumbar. Nah, tentu juga akan lucu jika ide Minang Mart yang berasal dari Pemprov Sumbar tidak diberikan akses yang lebih luas ke Bank Nagari. Jadi, wajar saja kesempatan tersebut disediakan oleh Pemprov Sumbar.
Kedelapan, Bung Ronny menduga Minang Mart akan berkonglomerasi dengan salah satu dari 3 pelaku retail besar di Indonesia (disebutkan dengan Transmart miliknya Chaerul Tanjung). Dugaan tersebut wajar saja, meskipun sudah disangkal oleh Pemprov Sumbar. Tetapi, karena kuasa pengetahuan retail di Indonesia dimiliki oleh 3 pelaku retail besar tersebut, tidak bisa dielakkan jika Minang Mart akan berkonglemerasi dengan salah satu, salah dua, atau ketiga retail tersebut. Yang penting ditegaskan tentunya bahwa ide Minang Mart adalah untuk mendorong tumbuh kembangnya produk lokal dan dengan siapapun berkonglemerasi, hal ini perlu diperhatikan Minang Mart. Transfer pengetahuan retail harus terjadi secara berkeadilan. Nah, saya pikir lucu jika Minang Mart tidak mampu memanfaatkan kesempatan transfer pengetahuan retail secara berkeadilan tersebut, jika itu dimungkinkan.
Kesembilan, Bung Ronny menilai langkah Pemprov Sumbar “membahayakan” pelaku retail yang lain. Tapi, bagaimana dengan pelaku retail yang “membahayakan” petani dan konsumen? Tentu ini juga harus dipikirkan. Lucu kiranya jika Pemprov hanya memikirkan pelaku retail tanpa memikirkan petani dan konsumen. Saya mengibaratkan petani dan konsumen itu sebagai anak dan pelaku retail itu sebagai kemenakan, jadi Pemprov Sumbar harus menjalankan “anak dipangku, kamanakan dibimbiang”. Jadi, keadilan harus menjadi sikap yang terus menerus diambil oleh pemerintah.
Sekali lagi saya menyampaikan bahwa tulisan bukan hendak menjawab tulisan Bung Ronny, apalagi menyanggahnya. Tulisan ini saya sampaikan sebagai bentuk pandangan lain terhadap ide Minang Mart. Semoga kita diberikan langkah yang terbaik untuk menjamin keadilan.
Catatan: Tulisan ini dipublikasikan pada Koran Harian Padang Ekspress Tanggal 28 Mei 2016