Minggu, 29 Mei 2016

LOGIKA TENTANG MINANG MART YANG TALONSONG

Oleh :
FERDINAL ASMIN
Kandidat Doktor PSL-IPB dan Awardee LPDP


Tulisan ini bukanlah dimaksudkan untuk menjawab tulisan Ronny P Sasmita (saya sebut sebagai Bung Ronny) yang berjudul “KOMEDI (TAK) LUCU MINANG MART”, tapi hanya memberikan pandangan lain terhadap pendapat yang disampaikan Bung Ronny. Sebagai seorang analis, Bung Ronny menyampaikan pendapat tentang kebijakan Minang Mart tentu dapat dimaklumi. Tetapi, saya menilai apa yang disampaikan Bung Ronny bukanlah sebuah analisis tapi lebih menjurus pada membangkitkan diskursus liberalisasi. Meskipun mengakui belum ‘ngeh” dengan Minang Mart, tapi Bung Ronny mengemukakan sembilan logika yang menggugat kebijakan Minang Mart di Sumatera Barat. Tapi sekali lagi, sembilan logika Bung Ronny tersebut sepertinya melewati batas (talonsong). Saya menguraikan pandangan saya mengikuti sembilan logika tersebut.
Pertama, Bung Ronny menilai Pemerintah Provinsi Sumatera Barat sedang mendikte pasar dengan Minang Mart. Tetapi, apakah 1000 Minang Mart yang ditargetkan pemerintah mampu mengambil alih dan mendikte pasar, sementara kebutuhan masyarakat Sumatera Barat juga banyak dipenuhi oleh produk-produk dari luar? Pemerintah Sumbar juga tidak pernah melarang produk-produk luar beredar di Sumbar. Ekspektasi publik dengan adanya Minang Mart adalah produk-produk lokal akan lebih mendapatkan tempat di hati konsumen di Sumatera Barat. Jadi, ini bukan persoalan larangan buang air besar (yang sebenarnya terlalu kasar diungkapkan di ruang publik), tetapi lebih saya perhalus lagi dengan persoalan perluasan kesempatan. Dengan brand Minang Mart, tentu baru akan menjadi lucu jika pemerintah tidak memberikan kesempatan yang memadai terhadap produk-produk lokal.
Kedua, Bung Ronny kemudian menilai Pemprov Sumbar malah membuang air besar (sekali lagi ini sebenarnya pilihan kalimat yang terlalu kasar di ruang publik) dengan mengeksekusi langsung Minang Mart. Saya berpandangan Pemprov Sumbar sedang berusaha memberikan kesempatan yang paling memungkinkan bagi perkembangan produk-produk lokal. Artinya, Pemprov Sumbar telah sadar bahwa hegemoni brand-brand tertentu ternyata sulit diintervensi pemerintah untuk menumbuhkembangkan produk-produk lokal. Ide Minang Mart kemudian muncul dengan klaim bahwa produk-produk lokal akan lebih mendapatkan tempat. Hal ini tentu harus kita tunggu pembuktiannya. Tentunya kelucuan akan terjadi jika ternyata Minang Mart tidak jauh beda dengan yang lainnya.
Ketiga, Bung Ronny mempersepsikan peran BUMD dalam mengelola Minang Mart tidak akan melibatkan peran swasta yang lain, bahkan kemudian mengkaitkannya dengan crony capitalism bahkan komunisme. Waw, sekali lagi, ini logika yang sangat ekstrim. Apakah Bung Ronny tidak melihat iklim perdagangan dari dulu sampai saat ini sebenarnya sudah mengarah ke crony capitalism. Apakah mungkin Sumbar yang ekonominya sudah terbuka dan tergantung dengan perdagangan lintas wilayah kemudian hanya karena ada Minang Mart tidak menganut liberalisasi ekonomi. China yang berpaham komunis dengan terpaksa mengikuti ekonomi liberal karena globalisasi ekonomi dunia, bukan karena kesadaran mereka. Saya meyakini bahwa liberalisasi ekonomi pasti akan dianut dalam pengelolaan Minang Mart. Persoalan sebenarnya adalah liberalisasi ekonomi telah melindas produk-produk lokal. Nah, tentunya bagaimana kiat Minang Mart menyikapi hal tersebut. Jika tidak mampu menyikapi itu, baru alangkah lucunya ide tersebut.
Keempat, Bung Ronny menilai tidak mungkin terbentuk competitive price karena adanya monopoli oleh Minang Mart. Bung Ronny seakan-akan membayangkan bahwa seluruh rantai pasok akan dikuasai Minang Mart dan mungkin akan melindas keberadaan pasar lokal. Tapi sebenarnya, harga di mart-mart yang lain juga ternyata lebih tinggi. Bahkan untuk komoditi pertanian, gap harga di tingkat petani dan pasar sangat jauh sekali bedanya. Jadi, masalah harga produk bukan hanya terletak pada tinggi dan rendahnya, tetapi juga bagaimana keadilan harga di tingkat petani dan konsumen. Ide Minang Mart tentunya harus menerobos hal tersebut. Nah, akan menjadi tambah lucu jika Minang Mart akan mencekik petani dan konsumen (yang notabene juga banyak orang Minang). Itu namanya jeruk makan jeruk. Apalagi kendali pemerintah seharusnya bisa lebih signifikan untuk mencipta persaingan harga yang sehat.
Kelima, Bung Ronny menilai ide Minang Mart sebagai orientasi bisnis akan menggerus  peran pemerintah yang seharusnya sebagai pelayan masyarakat.  Padahal, pelayanan masyarakat itu dilaksanakan oleh aparatur pemerintahan (yaitu PNS) dan BUMD bukanlah aparatur pemerintahan. Tugas-tugas pelayanan masyarakat dilakukan oleh aparatur pemerintah yang berada pada dinas dan badan lingkup Pemprov Sumbar. Apakah dengan banyaknya BUMN dan BUMD yang dimiliki oleh pemerintah kemudian PNS tidak ada kerjanya dan harus membantu tugas-tugas BUMN dan BUMD? Pelayanan PNS diatur dalam tugas pokok dan fungsi yang sangat jelas. Nah, ide Minang Mart seharusnya mampu membangkitkan inovasi PNS untuk mendorong tumbuh kembangnya produk-produk lokal. Akan semakin lucu, Minang Mart-nya sudah memberikan kesempatan luas untuk produk-produk lokal, tapi PNS Sumbar malah memfasilitasi masyarakat Sumbar untuk menghasilkan produk-produk non-lokal. Ini sungguh terlalu.
Keenam, Bung Ronny menilai ide Minang Mart akan menyebabkan Pemprov Sumbar hanya akan fokus pada distribusi, tidak memperhatikan produksi. Sebenarnya kelucuannya adalah Minang Mart-nya “menjamur”, tapi isinya kosong alias tidak ada produk-produk lokal. Tapi sepertinya kondisi tersebut hampir tidak mungkin karena tidak mungkin orang berusaha dengan pasokan yang tidak jelas. Produksi tentunya juga menyangkut kualitasnya. Tapi tentunya juga tidak mungkin Minang Mart akan menerima produk-produk yang tidak berkualitas. Kualitas produk akan semakin mendapatkan perhatian ketika kesempatan pemasaran produk-produk lokal tersebut semakin luas. Paling tidak kualitas kemasan produk-produk lokal juga akan semakin ditingkatkan. Nah, juga sepertinya akan menjadi lucu jika Minang Mart tidak bisa mendorong daya saing produk lokal karena persepsi konsumen Indonesia terhadap produk-produk asal Sumbar (terutama makanan) begitu positif.
Ketujuh, Bung Ronny menilai perlakuan khusus dalam akses perbankan (dari Bank Nagari) terhadap Minang Mart akan mendiskriminasi pelaku usaha yang lain. Sebenarnya, banyak bank yang dapat diakses oleh pelaku usaha, tidak hanya Bank Nagari, apalagi tingkat suku bunga yang ditetapkan juga tidak jauh berbeda. Sebagaimana kita ketahui, saham Pemprov Sumbar terhadap Bank Nagari sangat signifikan sehingga Bank Nagari selalu diidentikkan dengan bank-nya Pemprov Sumbar. Nah, tentu juga akan lucu jika ide Minang Mart yang berasal dari Pemprov Sumbar tidak diberikan akses yang lebih luas ke Bank Nagari. Jadi, wajar saja kesempatan tersebut disediakan oleh Pemprov Sumbar.
Kedelapan, Bung Ronny menduga Minang Mart akan berkonglomerasi dengan salah satu dari 3 pelaku retail besar di Indonesia (disebutkan dengan Transmart miliknya Chaerul Tanjung). Dugaan tersebut wajar saja, meskipun sudah disangkal oleh Pemprov Sumbar. Tetapi, karena kuasa pengetahuan retail di Indonesia dimiliki oleh 3 pelaku retail besar tersebut, tidak bisa dielakkan jika Minang Mart akan berkonglemerasi dengan salah satu, salah dua, atau ketiga retail tersebut. Yang penting ditegaskan tentunya bahwa ide Minang Mart adalah untuk mendorong tumbuh kembangnya produk lokal dan dengan siapapun berkonglemerasi, hal ini perlu diperhatikan Minang Mart. Transfer pengetahuan retail harus terjadi secara berkeadilan. Nah, saya pikir lucu jika Minang Mart tidak mampu memanfaatkan kesempatan transfer pengetahuan retail secara berkeadilan tersebut, jika itu dimungkinkan.
Kesembilan, Bung Ronny menilai langkah Pemprov Sumbar “membahayakan” pelaku retail yang lain. Tapi, bagaimana dengan pelaku retail yang “membahayakan” petani dan konsumen? Tentu ini juga harus dipikirkan. Lucu kiranya jika Pemprov hanya memikirkan pelaku retail tanpa memikirkan petani dan konsumen. Saya mengibaratkan petani dan konsumen itu sebagai anak dan pelaku retail itu sebagai kemenakan, jadi Pemprov Sumbar harus menjalankan “anak dipangku, kamanakan dibimbiang”. Jadi, keadilan harus menjadi sikap yang terus menerus diambil oleh pemerintah.
     Sekali lagi saya menyampaikan bahwa tulisan bukan hendak menjawab tulisan Bung Ronny, apalagi menyanggahnya. Tulisan ini saya sampaikan sebagai bentuk pandangan lain terhadap ide Minang Mart. Semoga kita diberikan langkah yang terbaik untuk menjamin keadilan.

Catatan: Tulisan ini dipublikasikan pada Koran Harian Padang Ekspress Tanggal 28 Mei 2016
POLEMIK DANA DESA DAN EKSISTENSI NAGARI
Ferdinal Asmin
(Kandidat Doktor PSL-IPB dan Awardee LPDP)

Penentuan jumlah dana desa menurut jumlah desa telah menimbulkan ketidakadilan bagi provinsi dan kabupaten yang sedikit jumlah desanya namun jumlah penduduknya banyak dan wilayah administrasinya cukup luas, seperti yang dirasakan masyarakat Sumatera Barat. Memang pantas, sebagian besar pemerintah daerah dan masyarakat di Sumatera Barat kemudian berpikir untuk memekarkan nagari. Hal ini dilakukan dengan harapan bahwa jumlah dana desa yang didapatkan masyarakat Sumatera Barat akan menjadi lebih besar.
Akan tetapi, pemekaran nagari juga memiliki resiko yang tak kalah pentingnya. Jika kita hanya melihat nagari sebagai wilayah administratif semata, maka resikonya mungkin dianggap sedikit. Jika kita menilai nagari juga sebagai entitas sosial ekonomi masyarakat Sumatera Barat selain dari entitas teritorial administratif, maka resiko akan semakin besar. Resikonya dapat berupa sosial, ekonomi, dan ekologi yang menyebabkan kehilangan identitas masyarakat dengan norma dan nilai “ke-Minangkabau-an” yang sedang diperkuat. Kita perlu kembali mengingat ketika nagari dan jorong dijadikan desa pada tahun 1970-an dan bagaimana dampaknya pada degradasi norma dan nilai “ke-Minangkabau-an”. Setelah reformasi, kita kembali mencoba “mambangkik batang tarandam” dengan “baliak ba nagari”. Namun saat ini, konsentrasi kita kembali “diganggu” dengan polemik dana desa.
Kita perlu melihat secara utuh “postur” dana desa dan kontribusinya bagi pembangunan nagari dan masyarakat. Adaptasi kita harus mempertimbangkan kemampuan kita dalam transformabilitas, pembelajaran, dan inovasi. Setiap kebijakan pemerintah perlu disikapi dengan mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan yang kita miliki.
Kontribusinya Masih Kecil
Bagaimana “postur” dana desa yang sesungguhnya? Bila kita mempedomani jumlah dana transfer pusat ke daerah di seluruh Indonesia yang dirilis Kementerian Keuangan tahun 2015, persentase dana desa hanya sekitar 3 persen. Jika rencana menaikkan dana desa sebesar 2 kali lipat pada tahun 2016 ini, maka persentasenya mungkin masih kurang 10 persen. Diantara berbagai jenis transfer ke daerah, dana desa terbilang yang paling kecil.  Tentu bisa kita membayangkan bagaimana “postur” dana desa itu sendiri. Khusus untuk Sumatera Barat, besar dana alokasi khusus (DAK) ternyata hampir 5 kali lipat dari dana desa yang diterima pada tahun 2015. Artinya, masih ada sumber dana lain yang berpotensi untuk pembangunan nagari dan masyarakat.
“Postur” dana desa menjadi menarik, salah satunya adalah besarnya kewenangan desa dalam merencanakan, mengorganisir, melaksanakan, dan mengendalikannya. Ada semacam ‘euforia” masyarakat dalam melihat dana desa setelah begitu lama mereka “terkungkung” dengan kerumitan birokrasi pendanaan dari pemerintah. Dengan demikian, besar kemungkinan bagi masyarakat untuk mengutamakan kebutuhan di desanya. Tapi, penggunaan dana desa diatur sedemikian rupa, yang juga berpotensi belum sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan (felt needs) masyarakat. Dalam berbagai kesempatan, Presiden Jokowi selalu menginstruksikan agar dana desa dipergunakan untuk infrastruktur. Bila pengecoran jalan menjadi kebutuhan, dana desa sekitar 700-800 juta mungkin baru mampu untuk jalan sepanjang 0,5 – 1 km. Sekali lagi, dana desa memiliki “postur” yang terbatas dan dana pembangunan nagari dan masyarakat seharusnya bukan hanya mengandalkan dana desa tetapi perlu mengupayakan sumber-sumber lain, termasuk swadaya masyarakat.
Apa yang Seharusnya?
Pemekaran nagari untuk memperbesar peluang menarik dana desa ke Sumatera Barat sepertinya menjadi kurang relevan. Ide pemekaran nagari sebenarnya menjadi pilihan yang harus “dikuliti” resikonya bagi eksistensi nagari sebagai entitas sosial ekonomi masyarakat dan entitas teritorial berbasis genealogis. Perlu disadari bahwa Sumatera Barat memiliki banyak kawasan perlindungan dan pelestarian, yang disatu sisi selalu dianggap sebagai kekurangan, tapi dapat diangkat sebagai kelebihan dalam negosiasi dengan pemerintah pusat. Norma dan nilai “ke-Minangkabau-an” yang dianggap menjadi nostalgia masa lalu perlu dibangkitkan dengan “sisa-sisa memori” yang disesuaikan dengan kondisi kekinian sehingga kita tidak dianggap sedang beromantisme. Di tengah “ketergerusan” norma dan nilai, kita masih banyak menyisakan “memori” pengetahuan lokal yang melekat kuat dalam sebagian besar masyarakat Sumatera Barat. Untuk itu, ada 3 hal yang seharusnya perlu didorong.
Pertama adalah mendorong perbaikan kriteria pengalokasian dana desa. Berdasarkan penilaian terhadap data jumlah penduduk, luasan, jumlah pulau, dan tingkat kemiskinan menurut provinsi, metoda pengalokasian dalam Pasal 11 PP No. 60 tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan PP No. 22 tahun 2015 belum sensitif terhadap hal-hal tersebut. Sekitar 30-50 % alokasi dana desa belum mencerminkan pertimbangan proporsi penduduk, luasan, pulau, dan kemiskinan antar provinsi. Bahkan, alokasi dana desa tahun 2015 berpotensi mempertajam ketimpangan wilayah Barat dan Timur karena sekitar 60 % dana desa masih berada di Pulau Jawa dan Sumatera. Kasus di Sumatera Barat dapat menjadi pioneer untuk membangun solidaritas berbagai provinsi menyuarakan perbaikan kriteria ke pusat. Jika hal ini dapat dilakukan, maka kita tentunya dapat memaklumi pengalokasian yang adil dengan filosofi “urang mandapek awak ndak kahilangan”.
Kedua adalah, jika kriteria pengalokasian belum terakomodir, kita mendorong pengalokasian dana desa menurut jorong, bukan nagari. Tapi ini sebuah perjuangan yang bisa dianggap sulit. Sulit karena kita perlu mengupayakan “keistimewaan” dari pusat dengan berargumentasi kekhasan wilayah masyarakat Minangkabau sehingga perlu bantuan dari anggota DPD dan DPR yang mewakili Sumatera Barat, disamping peran pemerintah daerah dan tokoh-tokoh masyarakat. Tapi hal ini bisa realistis sepanjang komitmen pada pembangunan nagari dan masyarakat merupakan sebuah kebijakan yang terus menerus diperjuangkan. Kita perlu senantiasa meyakini hal tersebut.
Ketiga adalah, jika yang pertama dan kedua masih belum memungkinkan, kita perlu mempertimbangkan alokasi dana desa yang didapatkan sebagai media penguatan solidaritas masyarakat dalam mempertahankan norma dan nilai “ke-Minangkabau-an” dan membangun “ke-agensi-an” masyarakat dalam prinsip self-help, felt needs, dan partisipasi. Pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota bersama masyarakat perlu membangun komitmen bahwa penggunaan dana desa bukan hanya memperbaiki hasil tapi lebih untuk memperbaiki proses-proses yang memperkuat eksistensi nagari di masa yang akan datang. Kita harus menyakini bahwa leadership di tingkat lokal, kota, kabupaten, dan provinsi mampu menjamin implementasi ini.
Kesimpulan yang dapat dirangkum adalah pemekaran nagari memang bisa menjadi pilihan ketika kita menilai dana desa hanyalah satu-satunya cara meningkatkan pembangunan nagari dan masyarakat di tengah ketidakmungkinan politik dan hukum. Padahal, banyak sumber dana lain yang dapat dioptimalkan untuk pembangunan nagari dan masyarakat. Poin bagi nagari adalah pentingnya kita membangun solidaritas dan “ke-agensi-an” untuk menyikapi kebijakan pemerintah. Kita harus meyakini bahwa, dengan norma dan nilai “ke-Minangkabau-an”, kita dapat mewujudkan nagari yang sejahtera dan berkelanjutan.

Catatan: Tulisan ini dipublikasikan pada Koran Harian Padang Ekspress Tanggal 7 April 2016