REVITALISASI HUTAN ADAT
Pengakuan
Kepemilikan Hutan Adat
Bagi
masyarakat hukum adat, pengakuan pemerintah terhadap kepemilikan tanah,
termasuk hutan, merupakan substansi hakiki untuk mempertahankan sistem hukum
yang mereka jalankan. Sumber daya alam
menjadi sumber inspirasi peningkatan kapasitas mereka dalam pembangunan sosial
dan ekonomi dengan tetap memperhatikan kearifan ekologis yang telah berkembang
di tengah-tengah kehidupan mereka.
Distorsi hukum adat yang terjadi sepanjang sejarah rezim pemerintahan di
Indonesia harus ditata ulang dengan pendekatan rekognisi hak masyarakat hukum
adat dalam pengelolaan sumber daya hutan.
Pemerintah,
selaku pemegang mandat pengurusan hutan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, harus menanggalkan sikap skeptis
terhadap kemampuan masyarakat hukum adat dalam pengelolaan sumber daya hutan
karena masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang berpikir
komprehensif dan holistik untuk generasinya saat ini dan generasinya masa
mendatang dalam kerangka hukum dan kelembagaan adat yang implementatif. Fokus pemerintah adalah menjamin bahwa hak
ulayat dengan seperangkat hukum yang mengaturnya didapatkan secara adil oleh
masyarakat hukum adat.
Hak
ulayat ini berbeda dengan hak milik orang per orang yang diperoleh karena
membuka tanah atau hutan. Hak milik atas
tanah dapat pula diperoleh dari hak pakai atas tanah kesatuan sosial
(masyarakat [hukum] adat) apabila hak itu menjadi tetap dan turun temurun. Hak
milik mutlak tidak dikenal dalam hukum adat (Van Vollenhoven 1972 dalam
Suharjito 2013:429). Demikian pula
menurut Ter Haar (1960) dalam Suharjito (2013:429), hak untuk beschikken (menguasai mutlak) dalam arti
kata memindahtangankan tidak ditemukan dalam masyarakat suku bangsa di
Indonesia. Kaidah “daerah pertuanan” (beschikkingsgebeid)
tidak dapat dipindahtangankan tetap pertama-tama berlaku, walaupun ada beberapa
[pengecualian], misalnya karena peperangan [dan] tekanan pemerintah pusat. Ketentuan bahwa tidak ada hak milik mutlak
ini dalam UUPA [Tahun] 1960 disebut sebagai fungsi sosial dari tanah.
Kebijakan
Revitalisasi
Kita
harus jujur mengakui bahwa komitmen pemerintah dalam mendorong Pengelolaan
Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) pada kawasan hutan negara masih lemah. Pengembangan PHBM masih kalah dengan
pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI).
Contohnya, sampai tahun 2011,
perizinan HTR dan HKm baru mencapai sekitar 165 ribu ha dan 44 ribu ha,
masing-masingnya. Sementara luas areal HTI meningkat tajam dari hanya sekitar
30 ribu ha pada tahun 1990 menjadi lebih dari 10 juta ha pada tahun 2011 (Kemenhut
2012).
Sebagai
salah satu skema dalam PHBM, hutan adat perlu dipandang dalam 3 aspek penting
yaitu sosial, ekonomi, dan ekologi sebagaimana perspektif pembangunan
berkelanjutan yang mampu menjembatani dinamika permasalahan secara komprehensif
dan holistik. Untuk mencapai hal
tersebut, kebijakan yang dapat diambil pemerintah adalah sebagai berikut :
1. Kebijakan
sosial politik, secara khusus melalui revisi terhadap Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan untuk mengakomodir kepentingan hakiki dari masyarakat
hukum adat dan secara umum mendorong pembuatan undang-undang yang mengatur
tentang masyarakat hukum adat itu sendiri dalam arti luas. Komitmen politik (political will) dari pemerintah harus diwujudkan melalui penetapan
norma, standar, prosedur, dan kriteria yang mampu memaknai masyarakat hukum
adat sebagai bagian sistem hukum nasional yang saling melengkapi. Kita masih memiliki modal sosial yang kuat
berupa sistem kekerabatan yang masih kental (seperti pada masyarakat
Minangkabau) dan sistem kelembagaan yang mengutamakan musyawarah mufakat.
2. Kebijakan
ekonomi rakyat, dengan menjadikan masyarakat hukum adat sebagai penggerak utama
perekonomian wilayah dan memperluas akses mereka terhadap lembaga-lembaga
keuangan yang ada dengan layanan berbasis sistem hukum yang mereka anut. Badan Layanan Umum (BLU) Kementerian
Kehutanan sebagai salah satu lembaga keuangan dalam pembangunan kehutanan dapat
menjadi lokomotif fasilitasi permodalan berbasis sistem hukum adat. Akan menjadi lebih monumental, apabila
pemerintah menginisiasi pembentukan Bank Adat dan/atau mendelegasikan tugas
layanan berbasis sistem hukum adat ini pada salah satu bank nasional.
3. Kebijakan ekologi optimum, melalui optimalisasi
implementasi Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), dan Hutan
Desa (HD) dalam kerangka sistem hukum adat setempat dan menjamin tata kelola
adat pada lahan-lahan di luar kawasan hutan.
Yang paling penting dalam kebijakan ini adalah memberikan kewenangan
masyarakat hukum adat dalam menentukan tata ruang mikro berbasis ekologis untuk
mencapai kemandirian pangan, kelestarian sumber daya, dan peningkatan kapasitas. Untuk mencapai tujuan tersebut, pada
wilayah-wilayah yang pondasi sosial ekonominya didukung oleh masyarakat hukum
adat (contohnya Sumatera Barat), perlu dibentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan Adat
(KPHA) sebagai unit manajemen berbasis sistem hukum adat.